Pengamat: Kabinet profesional ala Jokowi berpotensi konflik
pernyataan Jokowi yang tak akan melakukan transaksi politik kepada partai koalisi tentu akan memicu terjadinya konflik
Pengamat politik asal Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial (Fisip) Universitas Jember, Jawa Timur, Maulana Surya Kusuma, kembali mengingatkan kepada dua kandidat Pilpres 2014, untuk bisa membangun kabinet yang kapabel. Sebab, menteri yang akan mengisi kabinet salah satu kandidat yang akan terpilih, adalah sebuah jabatan politik.
Maulana juga melontarkan kritiknya atas pernyataan salah satu kandidat Pilpres 9 Juli mendatang, Joko Widodo ( Jokowi )- Jusuf Kalla , yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP ), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB ) dan Hanura itu, yang menyatakan akan membangun Kabinet Profesional.
Sebab menurutnya, menteri adalah jabatan politik dalam sebuah manajemen pemerintahan. "Seorang presiden tak harus membangun kabinet profesional, melainkan kabinet yang kapabel. Kabinet profesional bisa membuat orang berasumsi, menteri tak ubahnya seperti jabatan karir berdasarkan latar belakang profesi tertentu. Padahal tidak selalu begitu. Menteri itu jabatan politik yang harus diduduki manajer yang kapabel, bukan hanya profesional," ungkap Maulana kepada wartawan di Surabaya, Rabu (21/5).
Dia melanjutkan, jika sebuah kabinet diisi orang-orang yang kapabel, maka bisa ditempati siapa saja, tanpa melihat latar belakang profesi. "Kalau ngomong profesionalisme saja, maka pertanyaannya adalah: Apakah posisi menteri pertahanan dan keamanan harus diisi pensiunan TNI? Kalau itu yang terjadi, kan kemunduran," kata dia mengkritisi.
Sementara pernyataan Jokowi yang tak akan melakukan transaksi politik atau bagi-bagi kursi kepada partai koalisi yang ikut mendukungnya, karena akan membangun kabinet profesional, menurut Maulana, akan berpotensi konflik antar partai koalisi. "Hal ini akan membuat Jokowi berseberangan dengan partai pendukungnya. Ini sama saja membuka 'konfrontasi' antar partai pendukung. Kalau seperti itu lantas apa fungsi partai yang dibentuk untuk kekuasaan?," lanjut dia mempertanyakan fungsi koalisi.
"Dengan membentuk Kabinet Profesional, bisa diartikan seakan-akan Jokowi menganggap kader partai tak ada yang profesional. Di luar negeri, di Amerika Serikat misalnya. Penunjukan Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, ditunjuk karena kemampuan diplomasi politiknya. Menteri itu jabatan politik. Jabatan karir hanya sampai tingkat direktorat jenderal," ucapnya memberi contoh.
Dalam sebuah kabinet di lembaga pemerintahan, yang diisi oleh para menteri, merupakan jabatan politik, tak ada salahnya semua calon presiden memaparkan kabinet-nya masing-masing. Untuk itu, Maulana menyarankan, bagi kedua kandidat, baik Jokowi-JK, maupun Prabowo Subianto - Hatta Rajasa untuk lebih terbuka soal kabinet yang akan mereka bentuk jika terpilih nanti.
"Saat ini, kompetitor Jokowi-JK, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sudah terlihat adanya bagi-bagi kursi ke partai-partai pengusungnya. Ada partai pendukung yang sudah berani terbuka menyatakan, mereka memiliki putra-putri (kader) terbaik yang bisa menempati posisi menteri," tandas dia.