Pengamat Nilai Indikator Kota Ramah Anak Tak Hanya Soal Pembangunan Infrastruktur
Pakar Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna menilai pembangunan kota ramah anak bukan hanya seputar infrastruktur, melainkan juga manusia. Dia mengatakan, pembangunan manusia tersebut dapat dilakukan dengan penanaman nilai kepada anak-anak dan masyarakat.
Pakar Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna menilai pembangunan kota ramah anak bukan hanya seputar infrastruktur, melainkan juga manusia. Dia mengatakan, pembangunan manusia tersebut dapat dilakukan dengan penanaman nilai kepada anak-anak dan masyarakat.
"Esensi utama sebetulnya ketika kita ingin membangun kota itu bukan pada persoalan berapa banyak infrastruktur yang lengkap, gedung yang tinggi, fasilitas. Tapi sebetulnya yang kita ingin bangun itu adalah pembangunan manusianya. Jadi bagaimana tumbuh kembangnya anak itu bisa memiliki nilai-nilai yang diinternalisasikan dengan segala bentuk program yang diwacanakan di dalamnya," ujar Yayat dalam diskusi virtual disiarkan langsung KemenPPPA, Selasa (13/10).
-
Bagaimana Pramono Anung berencana untuk meningkatkan kualitas infrastruktur di Jakarta? "Itulah yang kita perbaiki, jadi kita memperbaiki dari hal kecil, yang baik-baik yang sudah dilakukan oleh para gubernur. Jadi tujuan saya adalah mempersatukan peninggalan para gubernur yang baik-baik ini," ucap dia.
-
Gimana konstruksi jembatan Panyindangan dibangun? Melansir dari laman Pemkab Sumedang, jembatan ini menggunakan teknologi “judesa” untuk memperkokoh strukturnya. Judesa memiliki desain khas berupa sistem lantai, batang yang menggantung serta kabel baja sebagai pengikatnya.
-
Kapan Kota Tua Jakarta dibangun? Kota ini hanya seluas 15 hektare dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Kemudian di tahun 1619, VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen, Jayakarta pun dihancurkan. Setahun kemudian, kota baru bernama Batavia dibangun oleh VOC untuk menghormati Batavieren, yaitu leluhur bangsa Belanda.
-
Bagaimana MRT Jakarta dibangun? Koridor 1 MRT mulai beroperasi sejak 2019. Jalurnya sepanjang 16 kilometer. 10 kilometer jalur layang dan 6 kilometer di bawah tanah.
-
Bagaimana Pertamina membangun infrastruktur hijau? Langkah konkrit perseroan dalam pengembangan infrastruktur hijau, lanjut Fadjar tidak hanya dilakukan dalam Pertamina Group, tetapi juga bersama BUMN yang tergabung dalam Indonesia Battery Corporation (IBC) dalam pengembangan pabrik baterai kendaraan listrik (EV).
-
Kapan Jembatan Gantung Girpasang dibangun? Dengan adanya jembatan itu, warga yang tadinya harus berjalan kaki selama 19 menit menuruni tebing kini tinggal berjalan kaki 2 menit menyeberangi jembatan.
Yayat menyinggung terkait implikasi pencapaian seputar Kota Layak Anak (KLA). Menurut dia, sebagian orang berpikir membangun taman atau infrastruktur dapat menyelesaikan masalah terkait KLA.
"Membuat taman di mana-mana, tapi pertanyaannya Apakah taman-taman tersebut dimanfaatkan? Apakah taman-taman itu ada yang mengelola? Apakah taman-taman itu ada dipelihara?”
“Kadang-kadang target kita sederhana, buat taman saja. Seakan-akan kita sudah menyelesaikan masalah. Belum. Ada unsur-unsur yang perlu kita lengkapi di dalamnya," imbuh dia.
Yayat memberikan contoh penanaman nilai ditanamkan melalui infrastruktur-infrastruktur yang sudah dibangun. Ia mengambil contoh penyediaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) sebagai tempat bermain anak.
“Misalnya selama ini kita punya RPTRA yang sudah dibangun. Pertanyaannya, bagaimana anak-anak bermain di dalam itu itu harus ada aturan. Untuk apa? Penanaman nilai. Di situlah budaya ditanamkan," ujar dia.
Selain penanaman nilai pada anak, Yayat juga mengatakan bahwa pembentukan perilaku masyarakat terhadap anak juga merupakan salah satu aspek penting dalam hal pembangunan kota yang ramah anak. Yayat juga membahas mengenai kultur baru yang bisa membangun kota ramah anak, yaitu kota yang welas asih dan peduli pada anak.
“Nah, kita perlu kultur baru untuk membangun kota yang welas asih. Namanya compassionate cities. Kota ini membangun kesadaran, apakah hati kita tergetar (atau) tidak ketika misalnya melihat anak yang mengemis di lampu merah? Kita tergetar (atau) tidak ketika melihat anak-anak harus berjualan, meninggalkan sekolah. Jadi kalau warga kota sampai tidak tergetar hatinya melihat anak-anak yang terlantar, tidak sekolah, anak-anak yang tawuran, anak-anak yang dieksploitasi, artinya kota itu masih sangat lemah dalam penanaman nilai welas asih, yaitu nilai kepedulian pada anak-anak itu sendiri," ujar dia.
Yayat juga sempat mengkritisi 24 indikator Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dari Kemen PPPA yang dinilai terlalu banyak, sehingga untuk mencapai KLA dibutuhkan proses yang rumit dan panjang.
“Inilah menjadi PR bersama kita perlu tidak merubah aturan ketentuan tentang sebuah Kota Ramah Anak. kalau ini terlalu banyak, terlalu ribet, terlalu panjang, memakan cost yang sangat besar, maka mencapainya makin sulit. Maka indikator-indikatornya perlu kita evaluasi kembali mana yang paling mudah untuk menghilangkan persoalan," tandasnya.
Reporter Magang: Maria Brigitta Jennifer
(mdk/gil)