Pengamat Nilai Senyum Pemimpin Tak Selalu Merepresentasikan Demokratis atau Otoriter
Pengamat politik Exposit Strategic, Arif Susanto, menilai wajah pemimpin yang ramah tidak mencerminkan bahwa pemimpin tersebut bukan otoriter. Dia pun teringat ucapan Presiden Jokowi yang pernah menyebut bahwa tampangnya tidak sangar.
Pengamat politik Exposit Strategic, Arif Susanto, menilai wajah pemimpin yang ramah tidak mencerminkan bahwa pemimpin tersebut bukan otoriter. Dia pun teringat ucapan Presiden Jokowi yang pernah menyebut bahwa tampangnya tidak sangar.
"Saya ingat pernyataannya Presiden Jokowi yang merespons beberapa pandangan yang menyebut bahwa gejala otoritarianisme sudah muncul di Indonesia saat ini, waktu itu beliau tampang saya ini enggak ada sangar sangarnya kata dia," kata Arif dalam diskusi Formappi: UU Cipta Kerja dan Tumbuhnya Pohon Otoritarianisme, Jumat (6/11).
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Bagaimana Presiden Jokowi saat ini? Presiden Jokowi fokus bekerja untuk menuntaskan agenda pemerintahan dan pembangunan sampai akhir masa jabaotan 20 Oktober 2024," kata Ari kepada wartawan, Senin (25/3).
-
Kapan Pasar Jongke diresmikan oleh Presiden Jokowi? Pada Sabtu (27/7), Presiden Jokowi meresmikan Pasar Jongke yang berada di Laweyan, Kota Surakarta.
-
Siapa yang mengunjungi Presiden Jokowi di Indonesia? Presiden Jokowi menerima kunjungan kenegaraan dari pemimpin Gereja Katolik sekaligus Kepala Negara Vatikan, Paus Fransiskus, di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu, 4 September 2024.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Siapa yang meminta tanda tangan Presiden Jokowi? Pasangan artis Vino G Bastian dan Marsha Timothy kerap disebut sebagai orang tua idaman. Pasalnya demi impian sang anak, Jizzy Pearl Bastian, pasangan orang tua ini rela melakukan segala cara.
"Memang ada pandangan yang keliru di kepala banyak orang yang melihat bahwa otoritarianisme itu representasinya lewat wajah sangar para diktator," sambungnya.
Dia kemudian, mencontohkan bekas Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin dan mantan Presiden Chili Augusto Pinochet yang merupakan diktator tapi berwajah ramah. Lalu, ada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
"Dulu misalnya ada Stalin, ada Pinochet, tapi kita juga ingat kita pernah punya Soeharto yang dikenal the smiling general, jenderal yang suka tersenyum, jadi senyumnya para pemimpin itu tidak selalu merepresentasikan bentuk kepemimpinannya apakah demokratis atau otoriter," tuturnya.
Selain itu, dia menuturkan, ancaman terhadap demokrasi bisa muncul dari pemimpin yang bahkan dipilih lewat pemilu. Dia mencontohkan Amerika Serikat dalam empat tahun terakhir dipimpin Donald Trump dengan dipilih lewat sebuah pemilu yang relatif demokratis.
Tetapi, menurut Arif, Trump justru menjadi salah satu musuh besar demokrasi yang dengan kekuasaannya memojokkan media. Kemudian, mengurangi akses terhadap kontrol atas pemerintahan dan seterusnya.
"Jadi kalau presiden Jokowi mengatakan saya gak ada tampang sangarnya itu bukan berarti pasti di Indonesia tidak ada otoritarianisme," tandasnya.
Arif melihat gejala otoritarianisme dilakukan bukan tanpa alasan. Menurutnya, setiap pemimpin yang baru dilantik harus berpikir bagaimana mempertahankan kekuasaan agar program-programnya lancar.
Sebab, menurutnya, meski punya program sangat bagus sekalipun, tidak akan mungkin program itu diwujudkan jika bertahan di kekuasaan saja tidak mampu.
"Jadi misalnya kita lihat Jokowi begitu dia menang pemilu di tahun 2014 kemudian dilantik sebagai presiden, maka pertanyaan pertama paling itu justru bagaimana caranya mempertahankan kekuasaan," ucapnya.
"Jadi pertama tama itu bukan bagaimana mewujudkan sebuah program yang sudah dijanjikan lewat kampanye, tapi bagaimana mempertahankan kekuasaan," imbuhnya.
Kemudian, di sisi lain ada faktor dorongan eksternal. Jika dilacak, Pemilu 2014 adalah pertarungan politik yang keras dan itu tidak selesai gara-gara Jokowi memenangi pemilu. Demikian pula di pemilu 2019 yang jauh lebih keras dibandingkan 2014.
Sehingga, menurut dia, hal tersebut memberi ancaman tertentu kepada kekuasaan Jokowi. Sehingga, upaya untuk mempertahankan kekuasaan punya alasan.
"Tidak semata mata Jokowi haus kekuasaan tapi karena tekanan eksternal, yang kalau tidak dihadapi bukan tidak mungkin Jokowi selesai di tengah jalan seperti halnya dulu Habibie tidak mampu mempertahankan kekuasaannya, demikian pula Gus Dur antara 1999 hingga 2001 gagal mempertahankan kekuasaan," pungkasnya.
Baca juga:
Terima Audiensi BEM PTKIN, Stafsus Jokowi Ajak Mahasiswa Susun Turunan UU Cipta Kerja
Presiden Jokowi Akan Beri Gelar Pahlawan Nasional ke 6 Tokoh Ini
Adian Napitupulu: Erick Thohir Menempatkan Diri Seolah di Atas Presiden
Jokowi Ajak Apoteker Indonesia Wujudkan Kemandirian Industri Farmasi Nasional
DPR: Sikap Presiden Jokowi ke Macron Mewakili Muslim Indonesia