Penutupan lokalisasi di Malang terkesan dipaksakan
"Kalau PSK (Pekerja Seksual Komersial) bisa mencari lokasi lain dengan cepat, tapi mucikari tidak," kata Nasip.
Belum genap sepekan tujuh lokalisasi di Kabupaten Malang, Jawa Timur, ditutup. Muncul perlawanan dari kelompok mucikari yang menamakan diri, Koalisi Mucikari Bersatu (KMB). Mereka menyampaikan lima pernyataan sikap atas penutupan yang dianggap terlalu dipaksakan.
Mereka dirugikan karena ladang mencari nafkahnya yang sudah bertahun-tahun ditutup begitu saja, tanpa penyelesaian jelas.
Ada lima pernyataan sikap yang disampaikan oleh KMP, yakni menolak penutupan lokalisasi tanpa solusi, menolak adanya diskriminasi terkait perizinan alihfungsi menjadi sentra hiburan (kafe, penginapan dan lain-lain), menagih janji bupati terkait program pemberdayaan PSK dan bantuan alat kerja pada PSK, Bupati harus mengevaluasi SKPD yang melakukan pelatihan secara asal-asalan, dan meminta DPRD Kabupaten Malang turut memperjuangkan nasib mereka sebagai warga Kabupaten Malang.
"Kalau PSK (Pekerja Seksual Komersial) bisa mencari lokasi lain dengan cepat, tapi mucikari dan profesi lain yang bergantung pada kegiatan di lokalisasi. Penutupan itu tanpa persiapan," kata Nasip Hermanto, Koordinator KMB, Jumat (28/11).
Program yang dilaksanakan seperti pemberian keterampilan, menurut dia hanya formalitas. Materi keterampilan hanya diberikan sekitar dua jam yang tidak akan memberikan dampak signifikan, apalagi pendapatan baru bagi penghuni lokalisasi. Bantuan peralatan yang pernah dijanjikan, menurut pengakuan mereka, juga tidak ada.
Tujuh lokalisasi yang beroperasi di wilayah Kabupaten Malang, terhitung Senin, 24 November 2014 ditutup. Ketujuh lokalisasi itu meliputi lokalisasi Suko (Kecamatan Sumberpucung), Slorok (Kromengan), Kebobang (Wonosari), Girun (Gondanglegi), Kalikudu (Pujon), Embong Miring (Ngantang) dan Pulau Bidadari (Sumbermanjing Wetan). Total ada 308 PSK penghuni panti dan 90 mucikari yang harus menghentikan profesinya.
Sutiah dari Lembaga Pengkajian dan Kemasyarakatan Pembangunan (LPKP) melihat adanya kesan dipaksakan dalam kasus penutupan tersebut. Karena belum adanya kesiapan dari pemerintah, khususnya soal dana kompensasi. Kementerian Sosial (Kemensos) menjanjikan dana kompensasi itu, namun hingga hari penutupan dana belum turun.
"Karena sudah mengagendakan penutupan, meski dana belum turun, sesuai jadwal akhirnya tetap ditutup juga kayaknya," ujarnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Iwan Subagio dari LSM Paramitra. Tahapan penutupan tidak sesuai dengan desain seharusnya. Sehingga banyak pihak tidak siap menghadapi keputusan tersebut, terutama para PSK dan Mucikari.
"Sepertinya hanya ditutup saja, tanpa persiapan matang. Kalau tidak siap justru akan timbul persoalan baru, terutama urusan penyebaran penyakitnya," kata manager project HIV/AIDS ini.