Peradilan masih kacau, pemerintah diminta moratorium hukuman mati
Kesalahan penghukuman menjadi sesuatu yang seringkali tak terhindarkan dalam praktik hukum pidana.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melakukan penelitian mengenai potret hukuman mati dalam peradilan pidana studi atas 42 putusan pengadilan. Putusan yang dikaji merupakan putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dari tahun 2002 hingga putusan tahun 2009.
Peneliti dari ICJR Supriyadi W Eddyono mengatakan, sistem peradilan pidana di Indonesia masih rapuh dan sangat terbuka peluang terjadinya kesalahan penghukuman. Dalam banyak kasus, kesalahan penghukuman menjadi sesuatu yang seringkali tak terhindarkan dalam praktik hukum pidana.
"Pada dasarnya hukum acara pidana di Indonesia tidak membedakan standar proses peradilan bagi orang-orang yang diancam pidana mati. Hampir semua ketentuan yang terdapat dalam hukum acara pidana di Indonesia memberikan standar peradilan yang sama antara proses peradilan bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati dan tersangka/terdakwa pada kasus-kasus lainnya," kata Supriyadi dalam sebuah diskusi, Jakarta, Minggu (12/4).
Dalam penelitiannya, dia menemukan permasalahan penerapan prinsip fair trial dalam peradilan pidana di Indonesia, khususnya bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati.
Hal tersebut, kata Supriyadi, dapat terlihat dari masih banyaknya persoalan yang ditemukan dalam berbagai putusan pidana yang menjatuhkan hukuman mati. Persoalan-persoalan tersebut tampak menyeluruh dan berulang seperti kehadiran akses bantuan hukum yang efektif, minimnya pembuktian dari jaksa, penyidikan yang eksesif sampai dengan inkonsistensi putusan hakim.
Oleh karena itu, dia menegaskan, ICJR mendesak kepada pemerintah untuk melakukan review ulang pada semua putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati. Harus dipastikan bahwa semua putusan sudah sesuai dengan prinsip fair trial dan prinsip universal terkait penjatuhan hukuman mati.
"Selanjutnya kami mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium eksekusi bagi terpidana mati dan penjatuhan pidana mati selama masih belum adanya hukum acara pidana yang sesuai standar fair trial," tegas Supriyadi.
"Kami juga mendesak Mahkamah Agung untuk segera mencabut SEMA 1/2012 dan SEMA 7/2014 yang memberikan batasan-batasan serta hambatan kepada pencari keadilan. PK seharusnya diatur lebih komprehensif dalam KUHAP atau UU khusus mengenai PK sehingga tak menimbulkan pembatasan terhadap hak terpidana mati seperti pengaturan saat ini," tandasnya.