Persaudaraan Jangan Sampai Memudar karena Tidak Bisa Menerima Hasil Pemilu
Masyarakat Indonesia patut bersyukur dan bersuka cita karena telah melewati proses Pemilu 2024
Walaupun sebelumnya mungkin berada di pihak yang berbeda.
Persaudaraan Jangan Sampai Memudar karena Tidak Bisa Menerima Hasil Pemilu
Pemilu 2024 telah usai, meninggalkan jejak perdebatan dan perbedaan pendapat. Di tengah euforia sang pemenang dan kekecewaan mereka yang kalah, persaudaraan sesama anak bangsa jangan sampai memudar hanya karena tidak bisa menerima hasil pemilu dengan bijaksana.
Rektor Universitas Islam Makassar (UIM), Muammar Bakry mengingatkan pentingnya konsolidasi sesama anak bangsa, walaupun sebelumnya mungkin berada di pihak yang berbeda.
Muammar menekankan mengenai pentingnya ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan) dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dalam menjaga persatuan bangsa. Karena dua hal tersebut adalah jembatan yang dapat mempertemukan segala perbedaan yang ada, termasuk dalam pilihan politik.
"Kebetulan sekali kita saat ini berada di bulan Sya'ban. Bulan Sya'ban itu adalah bulan yang mengantar kita masuk bulan Ramadan, sehingga sarat dengan makna persaudaraan dan perdamaian. Sya'ban itu juga berakar dari kata Sya’bun, yang berarti bangsa. Jadi bisa dimaknai bahwa kekuatan suatu negara itu terletak pada persaudaraan serta kebangsaannya," ujar Muammar Bakry di Jakarta, Kamis (22/2).
Muammar yang juga Imam Besar Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar ini menjelaskan pentingnya figur pemimpin dalam suatu negara.
"Eksistensi seorang pemimpin menjadi jauh lebih penting jika kita dudukkan persoalannya dalam komunitas bangsa yang besar seperti Indonesia. Negara yang memiliki hampir 300 juta jiwa penduduk seperti ini, tentu perlu ada pemimpin yang kuat melalui proses yang demokratis," ujarnya.
Menurutnya, masyarakat Indonesia patut bersyukur dan bersuka cita karena telah melewati proses Pemilu 2024 lalu dengan kondisi yang relatif aman dan stabil. Dan saat ini, masyarakat Indonesia sedang menunggu hasil hitung suara secara resmi yang dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum).
Kiai yang juga Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, mengkritik penggunaan politik identitas agama dalam kampanye. Hal ini, menurutnya, dapat mendiskreditkan agama dan mengurangi nilai sakralnya.
Dirinya berpendapat bahwa agama memiliki konsep tersendiri dalam menjalankan nilai-nilainya, sementara politik punya jalannya yang tidak harus dibenturkan pada dogma agama.
"Masyarakat perlu diedukasi untuk memahami perbedaan antara nilai agama dan politisasi agama. Dengan begitu, publik semakin tercerahkan dengan edukasi yang baik, sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada agama, dan semakin dewasa dalam melihat hubungan agama dengan politik," kata Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Selatan (Sekjen MUI Sulsel) ini.