Peran Ormas, Polri dan Masyarakat Penting Cegah Radikalisme
Guru Besar Sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Prof Iwan Gardono Sujatmiko menilai, deteksi dini terhadap radikalisme harus dibangun secara semesta dengan melibatkan segenap masyarakat.
Kunjungan Kapolri Jenderal Listyo Sigit ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Pengurus Pusat Muhammadiyah dinilai positif. Pertemuan itu bisa memperkuat sinergi antara Polri dan ormas Islam. Sehingga upaya meningkatkan toleransi umat beragama dan mencegah gerakan kelompok radikal bisa semakin mudah.
Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi mengatakan, sejak dahulu NU dan Muhammadiyah selalu terdepan dalam menyuarakan toleransi. Kedua organisasi merupakan titik simpul dan kunci dari toleransi dan gerakan anti radikalisme. Karena itu, Islah menilai, kunjungan Kapolri ke PBNU dan Muhammadiyah sangat tepat.
-
Kapan kemacetan di Jakarta terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Di mana kemacetan parah di Jakarta sering terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Siapa saja yang diarak di Jakarta? Pawai Emas Timnas Indonesia Diarak Keliling Jakarta Lautan suporter mulai dari Kemenpora hingga Bundaran Hotel Indonesia. Mereka antusias mengikuti arak-arakan pemain Timnas
-
Apa yang menjadi masalah utama yang dihadapi warga Jakarta saat ini? Belakangan ini, kualitas udara Jakarta jadi sorotan masyarakat.
-
Di mana banjir terjadi di Jakarta? Data itu dihimpun hingga Jumat 15 Maret 2024 pada pukul 04:00 WIB. "Kenaikan status Bendung Katulampa dan Pos Pantau Depok menjadi Siaga 3 (Waspada) dari sore hingga malam hari serta menyebabkan genangan di wilayah DKI Jakarta," kata Kepala Pelaksana BPBD DKI Jakarta, Isnawa Adji dalam keterangan tertulis, Jumat (15/3).
-
Siapa yang menyerahkan kekuasaan atas wilayah Jakarta Raya kepada Pemerintah Republik Indonesia? Hal tersebut diawali dengan penandatanganan dokumen-dokumen peralihan kekuasaan atas wilayah Jakarta Raya dari tangan Co Batavia en Ommenlenden kepada Basis Co Jakarta Raya.
"Ini yang mengapa Pak Kapolri menjadikan skala prioritas dua lembaga ini. Kalau Robitoh karena memang dalam beberapa bulan terakhir ini isunya soal habaib segala macam itu," kata Islah, Selasa (2/2).
Menurut Islah, NU dan Muhammadiyah merupakan kelompok yang lebih siap untuk menghadapi moderasi agama karena keduanya juga siap untuk melakukan alkuturasi dengan budaya lokal. Kelompok lain, seperti Salafi Wahabi memang tidak menginginkan adanya alkuturasi.
"Mereka menganggap bit’ah ini. Yang paling repot memang ketika berhadapan dengan moderasi,” imbuhnya.
Islah mengatakan, NU dan Muhammadiyah adalah lokomotif dari gerakan moderasi. “Kita tidak bisa meninggalkan dua organisasi ini, makanya Pak Kapolri sendiri mengunjungi dua organisasi ini lebih awal karena memang itu motornya mereka,” katanya.
Islah juga berkeyakinan, NU dan Muhammadiyah bisa menarik kelompok kanan menjadi ke tengah. Ulama-ulama NU rata-rata berada di garis tengah.
"Kelompok seperti FPI ini sebenarnya bisa ditarik dari kanan mentok menjadi kelompok tengah," ujarnya.
Sedangkan usaha-usaha mencegah berkembangnya radikalisme, Islah menilai, cukup baik. Sinergi Polri dan TNI cukup besar dalam pencegahan radikalisme.
Kementerian dan lembaga negara memiliki kanal untuk pencegahan radikalisme dan ekstrimisme berbasis kekerasan. Kolaborasi Polri dengan NU dan Muhammadiyah akan memperkuat upaya tersebut. Perpres Nomor 3 dan Perpres Nomor 7 bisa menjadi acuan kolaborasi semua organisasi dalam menghambat gerakan radikal.
"Kapolri kemarin kunjungan ke NU dan Muhammadiyah itu memang dalam tataran normatif simbolistik, tapi sebenarnya itu adalah gambaran bahwa dua lembaga ini akan dijadikan mitra terdepan oleh Polri untuk mengelaborasi dari Perpres-perpres yang sudah keluar," papar Islah.
Sementara itu, Guru Besar Sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Prof Iwan Gardono Sujatmiko menilai, deteksi dini terhadap radikalisme harus dibangun secara semesta dengan melibatkan segenap masyarakat.
Sebab, mendeteksi paham dan gerakan radikalisme dan intoleransi yang menginfiltrasi di setiap sektor kehidupan masyarakat cukup rumit.
Untuk itu, perlu peran masyarakat dan ketahanan sosial dalam melakukan deteksi dini terhadap potensi radikalisme dan intoleransi.
“Di sekolah, tempat kerja dan organisasi sudah harus ada aturan-aturan, untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan radikalisme dan intoleransi itu,” jelas Prof Iwan dikutip dari Antara, Selasa (2/1).
Aturan-aturan internal ini perlu merujuk pada perundang-undangan yang berlaku. Kata Prof Iwan, sehingga akan efektif jika ada pelaku tindakan radikal dan intoleransi ini.
“Pencegahan secara semesta atau pagar betis akan efektif jika telah ada dan jelas para pelaku tindakan radikal negatif tersebut sudah melanggar ideologi dan konstitusi seperti dalam kasus konflik separatis bersenjata yang didasarkan agama atau etnik,” kata Anggota kelompok ahli BNPT bidang Sosiologi.
Upaya untuk melakukan deteksi dini radikalisme oleh masyarakat merupakan masalah yang kompleks. Untuk mengatasi hal ini, lanjut dia, perlu optimalisasi peran negara dan peningkatan Ketahanan Sosial.
Penangkalan radikalisme-kekerasan dan potensi terorisme ini, tentunya berbeda dengan penangkalan kejahatan kriminal biasa. Maka perlu definisi yang jelas untuk itu.
“Perlu dijelaskan juga kepada publik radikalisme mengenai apa saja dan siapa saja yang bisa masuk kategori radikalisme tersebut. Sehingga publik nantinya akan mudah memahami kalau suatu tindakan tertentu berpotensi radikal, khususnya yang ada kekerasan tersebut, memang melanggar hukum dan jelas sanksi nya dalam pasal dan ayat yang mana,” terang Prof Iwan.
Dia meminta pemerintah dan aparat keamanan harus lebih mengoptimalkan lagi penegakan hukum dan juga di media massa serta ranah maya atau cyber patrol guna mencegah potensi intoleransi, radikalisme-kekerasan dan terorisme.
Oleh karena itu, perlu peran dari Babinkamtibmas dan Babinsa dengan fungsi intelijen-nya yang disertai dukungan pihak RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga), seperti aturan tamu yang lebih dari 24 jam wajib lapor ke Ketua RT.
“Pemolisian masyarakat diperlukan untuk mendeteksi radikalisme dan intoleransi ini. Karena dengan keterlibatan aktif dari masyarakat ini dapat menurunkan potensi radikalisme dan intoleransi di masyarakat,” katanya.
Kata Pemolisian Masyarakat dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 7 Nomor 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE). Perpres tersebut dimaksudkan untuk memperkuat ketahanan masyarakat terhadap paham ekstrimisme.
Prof Iwan menggarisbawahi, peran aktif dari masyarakat ini juga harus dibarengi dengan jaminan anonimitas atau kerahasiaan pelapor tersebut.
Baca juga:
Perlu Kerja Keras Cegah Masyarakat Tak Tertarik Ideologi Radikal Mengarah Terorisme
Pimpinan Tegaskan Tak Ada Radikal dan Taliban di KPK
BNPT Ingatkan Waspada Konten Propaganda Paham Radikalisme di Media Sosial
Bertemu Wapres, Menag Minta Dilibatkan Susun Materi Seleksi CPNS Cegah Radikalisme
Tangkal Paham Radikal, Pimpinan Ponpes Bogor Gelar Istigasah
Survei BNPT Milenial Rentan Terpapar Radikal, Negara Harus Hadir