Pesan Jokowi dan JK agar kasus pimpinan KPK dihentikan jika tak ada bukti
Penyidik kepolisian telah menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dan Saut Situmorang. Kasus itu dilaporkan Sandi Kurniawan, salah seorang kuasa hukum Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Setya Novanto.
Penyidik kepolisian telah menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dan Saut Situmorang. Kasus itu dilaporkan Sandi Kurniawan, salah seorang kuasa hukum Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Setya Novanto.
Sandi mempermasalahkan terbitnya surat permintaan cegah ke luar negeri terhadap Setnov kepada pihak Imigrasi pada 2 Oktober lalu. Agus dan Saut dianggap menyalahgunakan wewenang dengan terbitnya surat tersebut. Surat itu dikeluarkan justru setelah hakim tunggal praperadilan, Cepi Iskandar, menggugurkan status tersangka Setnov.
Presiden Joko Widodo mengingatkan agar penyelidikan kasus tersebut dilakukan seobyektif mungkin. Mantan gubernur DKI itu bahkan meminta kasus dihentikan jika tidak memiliki bukti yang kuat.
"Yang tidak berdasarkan bukti dan fakta, saya sudah minta dihentikan," tegasnya di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat (10/11).
Mantan wali kota Solo ini menegaskan, penegakkan hukum di Tanah Air tidak boleh memicu kegaduhan. "Ada proses hukum tapi jangan sampai ada tindakan kegaduhan," ucapnya.
Dalam kesempatan ini, Jokowi juga memastikan hubungan KPK dan Polri tetap baik-baik saja. "Hubungan KPK polri baik-baik saja, saya minta tidak ada kegaduhan," ujarnya.
Wapres JK mempersilakan proses hukum itu berjalan. Namun, apabila tidak ada bukti dia mendorong kasus dihentikan. Sampai saat ini status Agus dan Saut masih terlapor.
"Kan presiden sudah memberikan arahan, Kapolri juga sudah memberikan arahan, ya kalau memang ada buktinya silakan, jangan tanpa itu," tegasnya Asrama Haji Pondok Gede, Sabtu (11/11).
Lebih lanjut ia menjamin semua lembaga hukum mengikuti arahan presiden. Presiden sebagai panglima tertinggi bisa memberikan perintah kepada bawahannya. "Iya pasti. Presiden kan tertinggi, pasti dijalankan," tuturnya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengingatkan anak buahnya berhati-hati dalam mengusut kasus tersebut. Dia minta agar penyidik menggali keterangan dari berbagai ahli agar kasus ditangani secara obyektif.
"Ini suatu yang permasalahan hukum yang menarik. Saya minta penyidik hati-hati betul. Ini masalah celah hukum, yang interpretasi hukumnya bisa berbeda-beda dari satu ahli ke lainnya. Harus dilakukan secara imbang," kata Tito Mapolda Metro Jaya, Kamis (9/11).
Menurut Saut, pernyataan Presiden adalah nawacita yang sudah tercantum terkait pemberantasan korupsi. Saut juga mengatakan negara hadir dalam tindakan antikorupsi.
"Jadi saya pribadi beranggapan bahwa tidak aneh kalau Presiden menyatakan itu, jadi artinya sejalan dengan pemikiran yang ada di KPK (harus sesuai bukti dan fakta)," kata Saut di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (10/11).
Namun Saut mempersilakan lembaganya terus dikritik. "Kami juga bisa salah, kami juga punya kelemahan, kami juga punya kekurangan. Oleh karena itu karena ini hukum tempatnya ya di pengadilan, di hukum juga," ungkap Saut.
Setnov sendiri meyakini SPDP dari Polri sudah tepat. Dia meminta Kepolisian melanjutkan proses hukum terhadap kasus tersebut. Hal ini diungkapkannya menyikapi permintaan Presiden agar kasus dihentikan jika tak cukup bukti.
"Kalau enggak salah bukan begitu. Jadi beliau minta masalah hukum itu diserahkan kepada mekanisme hukum gitu ya," kata Setnov Kantor PPK Kosgoro 57, Jalan Hang Lekiu I Nomor 3, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (10/11).
Menurut Setnov, Kepolisian telah melakukan proses yang panjang sebelum memulai penyidikan atas kasus Agus dan Saut.
"Tapi semuanya kan kita tahu bahwa Polri melakukan secara profesional lah, kita beri. Kalau melakukan penyidikan kan berarti sudah melalui proses yang sangat panjang," ujarnya.
KPK kembali menetapkan Setnov sebagai tersangka. Lembaga antirasuah yakin politikus Golkar itu terlibat dalam kasus korupsi proyek e-KTP.
Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat 1 sub pasal 3 UU Tipikor junto pasal 55 ayat 1 ke-1. Status tersangka ini merupakan kali kedua bagi Setnov.
Menanggapi itu, kuasa hukum Senov, Fredrich Yunadi bakal mengambil langkah hukum dengan melaporkan KPK ke polisi dan kembali mengajukan praperadilan.
"Pertama hak KPK mengambil sikap apa pun, saya kuasa hukum juga bisa ambil langkah hukum yaitu melaporkan ke polisi," kata Fredrich kepada merdeka.com, Jumat (10/11).
Fredrich beralasan KPK melanggar putusan praperadilan. Menurut dia, dalam putusan praperadilan Setnov saat itu, salah satu poin adalah menghentikan penyidikan dan sprindik kasus e-KTP lantaran penetapan Setnov atas pengembangan tersangka Irman dan Sugiharto.
"Jadi kan untuk menghentikan kasus itu. Mereka melanggar ancaman pidana 9 tahun," kata dia.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan soal putusan praperadilan memang ada beberapa bagian yang dipertimbangkan sampai amar putusan membuat kaitan tadi.
"Namun kita mempelajari putusan MK dan kita pelajari aturan hukum yang lainnya seperti UU KPK. Dari keseluruhan tersebut kita melakukan proses penyelidikan di proses penyelidikan kita sejumlah pihak," ucapnya.
Febri menambahkan, sesuai dengan UU, KPK sudah melakukan pencarian bukti.
"Bukti-bukti dan kita analisis sudah mencukupi bukti permulaan cukup. Dan kemudian untuk proses lebih lanjut di tingkat penyidikan," tandasnya.