Pilkada ditunda hingga 2017, warga Surabaya demo
Mereka menyesal pilkada ditunda gara-gara cuma ada calon tunggal.
Setelah penutupan pendaftaran terakhir peserta Pilwali Surabaya, Jawa Timur oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat, calon tunggal petahana Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana tak kunjung mendapat pesaing. Alhasil, pilkada di Kota Pahlawan ini, harus ditunda hingga dua tahun mendatang, seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah.
Menyikapi masalah penundaan pilkada Surabaya karena hanya ada calon tunggal, puluhan warga tergabung dalam Aliansi Warga Surabaya (AWAS) mendesak pemerintah pusat segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), sebagai solusi calon tunggal di pilkada.
Guna menyampaikan aspirasinya, AWAS menggelar mimbar bebas di Jalan Demak, Surabaya, Selasa (4/8). Puluhan warga kampung terdiri dari warga Jalan Jepara dan Gundih, ikut berkumpul dalam aksi dipimpin Sjukur Amaludin.
Dalam aksi mimbar bebas itu, warga juga membentangkan spanduk bertuliskan "Tolak Begal Politik", "Warga Surabaya Minta Pilwali Bulan Desember", dan "Pemerintah Harus Terbitkan Perppu".
Dalam orasi politiknya, Koordinator AWAS Sjukur Amaludin, menyerukan supaya pilkada Surabaya tetap digelar tahun ini. Mantan anggota DPRD Surabaya ini juga mengatakan, aksi itu sekaligus wujud sikap warga Surabaya menolak 'Begal Politik' dan 'pasangan pecundang' yang tiba-tiba menghilang saat mendaftar ke Kantor KPU Surabaya, Senin (3/8) sore.
Memang, seperti diketahui, saat pasangan Dhimam Abror-Haries Purwoko yang diusung Partai Demokrat dan Partai Amanah Nasional (PAN), mendaftar sebagai kandidat lawan Risma-Whisnu kemarin, tiba-tiba ruang pendaftaran di KPU Surabaya, Jalan Adityawarman, menjadi gaduh.
Hal ini disebabkan Haries menghilang. Saat proses pendaftaran tengah dilakukan, dia izin ke toilet, tapi tak kembali. Belakangan diketahui, Haries mengaku mundur karena diminta keluarganya. "Baru kali ini proses demokrasi disuguhkan dagelan politik seperti ini," ujar Amaludin.
Peristiwa di Kantor KPU Surabaya itu, lanjut Amaludin, menjadi contoh buruk bagi proses demokrasi di Kota Pahlawan, dan sangat merugikan warga Surabaya karena pilkada harus diundur.
"Penggunaan APBD dan pelaksanaan sistem pemerintah tidak bisa terlaksana jika kepala daerah dijabat Pjs. Siapa yang bisa menjamin itu bisa menjadi Surabaya lebih baik selama dua tahun dijabat Pjs," ucap Amaludin.
Menurut Amaludin, jika pelaksanaan Pilkada tepat waktu, program pembangunan bisa terlaksana dengan baik. Selain itu, penetapan kepala daerah dan wakilnya secara definitif, akan mampu membuat kebijakan strategis terhadap arah pembangunan kota.
"Nah kalau kondisi seperti ini (Pilkada ditunda), kan sama saja membegal secara politik hak warga Surabaya dan hanya disuguhi demokrasi ala pecundang," kata Amaludin.