Pimpinan Komisi VII sebut kasus Setnov membuka tabir gelap Freeport
Ke depan apapun yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara transparan.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Mulyadi menilai munculnya kasus 'Papa minta saham' yang menyeret nama PT Freeport Indonesia membuka mata DPR bahwa selama ini pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang ada di Papua oleh Freeport dilakukan dalam permainan gelap. Ia mengatakan ke depan apapun yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara transparan, mulai dari proses perizinan sampai pembagian.
"Harus transparan ke depannya, sehingga tidak ada lagi yang berminat atau berani bermain di wilayah-wilayah gelap seperti yang terjadi selama ini dengan Freeport. Selama ini semua yang berkaitan dengan Freeport kan tidak pernah jelas. DPR terutama Komisi VII luput masalah substasi yang krusial terkait Freeport dan dengan kegaduhan ini, membuat kita akan semakin aware atau waspada," ujar Mulyadi di Gedung, DPR, Jakarta, Selasa (1/12).
Pihaknya ke depan akan lebih meningkatkan pengawasan. Selain itu ramainya komentar dari masyarakat, pakar dan pengamat akan dijadikan bahan dan momentum untuk revisi UU Minerba.
"Semua bahan yang terungkap dan disorot oleh masyarakat akan menjadi referensi untuk pembahasan revisi UU Minerba. Banyak hal yang sebelumnya kita tidak tahu sekarang terbuka," tambahnya.
Ia juga menegaskan DPR akan tegas ke pemerintah untuk melaksanakan berbagai kebijakan mulai dari perda, PP sampai aturan perundangan. DPR sendiri sudah sering mengingatkan pemerintah untuk menindak Freeport menjalankan berbagai peraturan di Indonesia.
"Kita akan tekan pemerintah untuk tegas menjalankan berbagai peraturan yang ada kepada PT Freeprot termasuk mengenai pembangunan smelter untuk mengolah hasil tambang di Indonesia yang diamanatkan dalam UU bahwa sejak awal 2015 kemarin mereka sudah harus menyediakan smelter. Ke depan kita tidak akan lagi menerima alasan yang dibuat Freeport bahwa mereka tidak bisa mengolah hasil tambang karena kurangnya smelter di Indonesia sehingga harus diolah di luar negeri," imbuhnya.
Menurut Mulyadi, Freeport memanfaatkan ketidaktegasan pemerintah dalam mengolah hasil tambang di Indonesia. Akibatnya Indonesia tidak bisa benar-benar tahu apa dan berapa yang dihasilkan dari tanah Papua itu.
"Sejak awal kami sudah meminta bahwa hasil tambang harus dipisahkan dan dimurnikan di Indonesia. Saat ini dari 3.000 ton hasil produk Freeport, hanya 1.000 ton yang diolah di Gersik Indonesia. Sisanya yang 2 juta ton diolah di Spanyol," jelasnya.
Dengan kondisi ini, jelasnya, pemerintah tidak bisa mengontrol berapa dan apa yang dihasilkan Freeport.
"Sekarang yang kandungannya mengandung emas semuanya diolah di Spanyol. Yang kandungan tembaga diolah di Gersik. Ke depan semua proses pemurnian harus dilakukan di Indonesia dan tidak ada lagi toleransi bagi Freeport untuk tidak mengolah hasil tambangnya di Indonesia," tegasnya.
Ia menyarankan, jika pemerintah tidak juga mau tegas menegakan aturan, hendaknya pemerintah mengeluarkan Perpu yang isinya membatalkan kewajiban pembangunan smelter. Ia menganggap wajar jika belakangan muncul usulan-usulan pembentukan panja atau pansus Freeport. Sebab DPR ingin tahu sebenar-benarnya soal ini
"Selama ini kita dirugikan hanya mendapatkan 1persen saja dari hasil usaha Freeport dan baru di era SBY itu dinaikkan menjadi 3.5 persen," tegasnya.