Pimpinan Padepokan Dimas Kanjeng di Samarinda buka suara
Pembina Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng (YPDK) Majelis Taklim Daarul Ukhuwah di Samarinda, Sumaryono, akhirnya angkat bicara. Itu setelah padepokan miliknya ditutup Pemkot Samarinda. Dia memastikan padepokan miliknya tidak melakukan pelanggaran hukum.
Pembina Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng (YPDK) Majelis Taklim Daarul Ukhuwah di Samarinda, Sumaryono, akhirnya angkat bicara. Itu setelah padepokan miliknya ditutup Pemkot Samarinda. Dia memastikan padepokan miliknya tidak melakukan pelanggaran hukum.
"Kami ingin meluruskan dengan pemberitaan media, seolah-olah kami ini sesuatu yang salah dan keliru. Saya memang pemimpin majelis taklim daarul ukhuwah yang sudah berdiri sejak 7 tahun lalu," kata Sumaryono, kepada wartawan di Samarinda, Kamis (6/10).
Menurut Sumaryono, penutupan ini hanya mengikuti aturan pemda setempat. Meski begitu, dia meyakini tidak ada pelanggaran hukum dilakukan padepokannya.
Sumaryono berkukuh bahwa adanya mahar dalam padepokan diberikan ikhlas dari para pengikutnya. "Ini murni majelis taklim. Kami semua di majelis melakukan dengan ikhlas, tulus, tidak ada paksaan. Kita bicara logis saja. Ini majelis yang memang menghimpun massa, ada dakwah, taklim, salawat dan lainnya," terang Sumaryono.
Dia menuturkan, iuran itu untu menghidupi padepokannya. Ini terutama untuk makan para pengikut, lebih kurang Rp 3,5 juta per pekan. Selain itu, uang tersebut juga untuk membayar para penceramah.
Selain itu, lanjut dia, uang hasil urunan itu untuk membangun keperluan padepokan. "Saya sendiri bukan pengusaha, bekerja juga pas pasan. Akhirnya ada solidaritas teman-teman jemaah, menyisihkan rezekinya untuk bahu membahu. Misal bangun aula, listrik, mimbar, berkaitan dakwah itu, sebenarnya iuran," ungkapnya.
Lantas, bagaimana dengan penghilangan tulisan YPDK pascapenangkapan Dimas Kanjeng oleh kepolisian? Sumaryono tidak memberikan alasan secara jelas.
"Majelis ini murni, sebagai sarana dakwah. Jangan dikaitkan dengan Dimas Kanjeng secara personal, jangan dikaitkan Majelis Taklim ini dengan kejadian sekarang. Ini kan yayasan umum," sebutnya.
"Kalau saya ditanya apakah saya pengikut Dimas Kanjeng, iya karena saya ikuti semua giatnya berarti saya pengikutnya. Jangan kami dihakimi masyarakat sebagai majelis penggandaan uang. Jangankan Rp 100.000 ribu digandakan, Rp 2.000 saja ditangkap polisi," ujarnya lagi.
Sumaryono sendiri menyandang gelar Sultan Agung dari Dimas Kanjeng, yang melantiknya November 2015 lalu. Sumaryono menyatakan dia tidak pernah meminta gelar itu. "Ya itu sebuah gelar yang bisa diberikan kepada siapapun. Tapi saya tidak permah meminta, saya bukan ustad, tapi teman-teman sudah saya kasih tahu, saya bukan ustad. Tidak kapasitas saya sebagai ustad Bukan saya yang meminta," ungkapnya.
"Yang jelas bukan saya mengakuinya dan adapun foto ada Sultan Agung karena teman-teman saking senangnya, jamaah saking cintanya pada pimpinannya, itu wajar. Dengan adanya persoalan ini, opini berkembang, ustad jadi jaga jarak kami, majelis yang rugi," terangnya.