Polemik Film Soekarno, sang playboy di antara dua wanita
Banyak pihak menilai penggambaran Soekarno terlalu playboy. Beristrikan Inggit, tapi masih menggoda Fatmawati.
Setelah naik tayang, film Soekarno: Indonesia Merdeka mendapat berbagai apresiasi dari berbagai kalangan. Mulai dari sanjungan hingga kritik. Hal yang banyak dikomentari adalah peran tokoh-tokoh dalam film itu. Mulai dari Soekarno , Hatta, Sjahrir, Inggit Garnasih, dan sosok lainnya.
Banyak kalangan yang menyayangkan, sosok Tan Malaka tak dimasukkan jelang proklamasi kemerdekaan dalam setting film ini. Selain itu dari kritik yang ada, dalam film itu sosok Sjahrir dianggap paling menonjol di dalamnya.
Berikut penjelasan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam kepada Islahuddin wartawan merdeka.com di Gedung Widya Graha LIPI, pekan lalu, akan sosok dan adegan-adegan dalam film itu:
Komentar Anda tentang penggambaran Hatta dan Sjahrir dalam film Soekarno?
Penggambaran Sjahrir dan Hatta dalam film itu lumayan menurut saya. Artinya ada perbedaan pendapat di antara mereka dan dalam perbedaan itu mereka saling mengakui. Jadi Bung Karno menunggu Bung Hatta untuk membacakan proklamasi. Jadi Bung Karno itu membutuhkan Bung Hatta dan itu jelas. Sedangkan untuk Sjahrir pun dalam film itu mengakui tidak akan sanggup mengalahkan Soekarno-Hatta dalam hal popularitas dan yang lainnya. Itu positif menurut saya.
Banyak kalangan yang menyayangkan dalam film itu Tan Malaka tidak disebutkan?
Saya lihat ada Tan Malaka dalam film itu. Tan muncul dalam adegan Soekarno ditemui oleh orang yang lebih pendek dari dia dan menceramahi Soekarno tentang Asia Pasifik. Itu oke juga. Dalam obrolan itu saya kenal itu kata-kata Tan Malaka dari bukunya Harry Poeze. Artinya Tan diikutkan dalam film itu. Saya lupa juga detail obrolannya, karena saya baru nonton sekali.
Tapi memang dalam film itu Tan Malaka tidak disampaikan dengan eksplisit. Kalimatnya itu diucapkan oleh Tan Malaka , Iya. Upaya Hanung menampilkan berbagai tokoh itu oke menurut saya. Secara keseluruhan film itu lumayan bisa mencitrakan Bung Karno sebagai seorang negarawan, politisi, juga seorang laki-laki yang flamboyan, itu terpenuhi, walaupun dengan beberapa catatan. Penggambaran hubungan dengan Jepang ini harus dilakukan dengan hati-hati juga.
Banyak yang bilang Sjahrir lebih menonjol di film itu?
Iya, tapi apa itu tidak berlebihan juga hal itu. Sjahrir sendiri tidak datang saat proklamasi kemerdekaan. Kemudian saya juga menyangsikan adanya kesepakatan kalau Sjahrir bergerak di bawah tanah, Soekarno-Hatta yang tampil ke permukaan.
Saya melihat itu, kalau dari analisa post factum, belakangan iya Soekarno Hatta yang muncul, Sjahrir di bawah tanah. Walaupun di bawah tanahnya itu apa? Itu juga tidak begitu jelas dan nyata. Malah justru yang bergerak di bawah tanah itu justru Tan Malaka .
Bagaimana dengan sosok Inggit Garnasih?
Penggambaran dalam aspek psikologinya kurang tergambar. Inggit yang saat marah saat Jepang masuk dan mereka ngobrol. Terus Soekarno bilang di film itu, "Ini di luar dugaan saya". Yang di luar dugaan itu, kedatangan Jepang atau kedatangan perempuan lain? Ini kan perubahan sikap yang tiba-tiba saja. Harusnya ada perkembangan, tapi itu tidak tergambar. Perkembangan Soekarno kenal dengan Fatmawati, harusnya sudah mulai muncul ada rasa cemburu Inggit. Tapi itu tidak tergambar, seperti meloncat.
Mungkin pertimbangan Hanung macam-macam. Tapi menurut saya penting juga kalau ingin menggambarkan Soekarno sebagai seorang play boy, sebagai laki-laki yang juga berurusan dengan dua perempuan. Masing-masing perempuan yang memiliki perasaan dan lain-lain. Itu sah-sah saja ditampilkan. Tapi orang kaget, tiba-tiba ada yang meloncat dalam film itu. Mungkin bisa digambarkan ada rasa tak senang.
Kecemburuan Inggit terhadap Fatmawati tidak begitu. Perempuan itu kalau kondisi seperti itu ada tahap-tahapnya. Mungkin bertengkar dulu atau apa, ya tadi saya katakan, seperti meloncat.
Dari segi flamboyan Bung Karno digambarkan cukup baik. Hubungan Soekarno dengan Inggit dan Fatmawati. Cuma ada yang salah di situ, Fatmawati itu namanya Fatimah. Belakangan Bung Karno menggantinya menjadi Fatmawati. Saya tidak ingat kapan diganti nama itu, tapi yang jelas waktu pertama berkenalan dengan Bung Karno namanya Fatimah. Tapi saat adegan Bung Karno mengajar di kelas itu, namanya Fatmawati.
Lalu juga soal Soekarno kena tempeleng. Kalau Soekarno jatuh itu ada, tapi dia kemudian akan ditembak oleh prajurit. Jadi justru menurut saya, Soekarno bisa hidup karena ditolong karena rasa kasihan Perwira Jepang itu. Nah saya justru berharap adegan-adegan Bung Karno menyelamatkan nyawa orang lain. Bung Karno menyelamatkan Amir Sjariffudin misalnya. Amir itu akan dieksekusi mati oleh Jepang, Bung Karno yang menolong sehingga Amir Sjariffudin tidak ditembak. Sehingga bisa hidup. Menurut saya mungkin itu lebih penting ketimbang Soekarno diselamatkan oleh orang Jepang.
Ada juga yang mengatakan dialog tokoh dalam film itu seperti dialog jalanan, padahal Soekarno , Hatta, Sjahrir, dan tokoh yang lainnya adalah intelektual?
Saya tidak melihatnya seperti itu. Masalahnya setting film itu dalam suasana genting sebelum proklamasi kemerdekaan. Mungkin saja dialog mereka dalam film itu masuk akal. Kalau bicara intelektual, dalam tulisan pembelaan atau di luar itu dalam pemikiran-pemikiran ideologisnya dan segala macam.
Tetapi khusus seputar 17 Agustus 1945 itu suasana yang genting. Jepang sudah kalah kita harus melakukan sesuatu. Semua pihak mendesak. Maka wajar ada jawaban yang ketus dan lain-lain. Suasananya seperti itu menjelang proklamasi.