Revisi UU KPK, citra Jokowi dipertaruhkan
Jokowi didesak segera mengeluarkan Surat Presiden.
Draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) telah dilempar ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Dua politikus PDIP, Risa Mariska dan Ichsan Soelistio, bertindak sebagai pengusul rancangan revisi.
Namun polemik mulai bermunculan. Publik mengendus adanya rencana pelemahan KPK yang diselipkan dalam revisi tersebut. Maka dari itu, sikap Presiden Joko Widodo alias Jokowi dalam hal ini dipertaruhkan. Jika Jokowi abai maka masyarakat yang mendukung pemberantasan korupsi akan pesimis terhadapnya.
Menanggapi hal tersebut, Peneliti ICW Lalola Easter mendesak agar Jokowi segera mengeluarkan Surat Presiden (Surpres). Surat tersebut berisi sikap tegas Jokowi untuk pro pemberantasan korupsi dan menyatakan tak perlu ada revisi UU KPK.
"Pemerintah masih punya kesempatan untuk menghentikan pembahasan itu dengan mengeluarkan Surpres yang mengungkapkan pemerintah tidak bersedia untuk melakukan pembahasan. Dengan tidak mengirimkan menteri perwakilan di DPR," kata Lalola saat dihubungi merdeka.com, Senin (8/2) kemarin.
Meski beberapa bagian yang perlu direvisi sudah dikerucutkan menjadi empat poin. Namun menurut Lalola, peraturan yang mau diatur dalam revisi undang-undang ini sebetulnya bisa diatur di level yang lebih rendah dibanding revisi undang-undang.
"Bisa dari SOP. Misalnya dari SP3, SP3 itu kan bisa diakalin. Kalau memang KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3, dia bisa melimpahkan perkara itu ke Kejaksaan Agung, nah Kejaksaan Agung bisa keluarkan SP3," tuturnya.
Mengenai penambahan Dewan Pengawas, Lalola berujar bahwa dikhawatirkan orang yang tak punya komitmen teguh memberantas korupsi akan diletakan ke struktur itu. Selain itu kewenangan Dewan Pengawas ini bisa disebutnya tidak kontekstual.
"Misalnya di revisi yang baru ini kan Dewan Pengawas berhak mengeluarkan izin melakukan penyadapan. Itu kan gak masuk akal. Karena fungsi penyadapan itu sudah projustisia, artinya sudah masuk proses hukum. Sedangkan Dewan Pengawas ini bukan dalam mekanisme peradilan, bukan dalam mekanisme penanganan perkara. Jadi dia tidak bisa kemudian jadi jawaban untuk menanggulangi soal penyadapan," ujarnya.
Sedangkan terkait penyadapan, lanjut dia, sebaiknya diwacanakan untuk membuat undang-undang tersendiri. Seluruh hal tentang penyadapan mau KPK, Kejaksaan, aparat penegak hukum lain bisa diatur dalam undang-undang yang sama.
"Jadi soal penyadapan tidak lagi tarik-ulur, kewenangannya tidak pada masing-masing lembaga, tapi pada istilahnya yang terintegrasi," ungkapnya.
Lalola juga menegaskan bahwa para komisioner KPK yang baru menjabat sebaiknya didengarkan lebih dalam penjelasanya terkait revisi UU KPK. "Para pimpinan kan sudah sepakat menolak adanya revisi undang-undang KPK, itu harus betul-betul didengarkan. Karena undang-undang ini nanti yang menggunakan kan KPK. Jadi jangan sampai tidak melibatkan KPK. Kalau KPK bilang tidak perlu revisi ya sepatutnya tidak dilakukan. Karena memang undang-undang yang sekarang masih mencukupi," bebernya.
Hal senada juga diungkapkan Pengamat komunikasi politik yang juga Peneliti Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik (KedaiKopi) dari Universitas Paramadina Hendri Satrio. Menurutnya jika Jokowi gagal menempatkan diri ketika bersikap mengenai revisi UU KPK ini, maka publik akan kecewa berat. Selain Jokowi, Hendri juga berharap KPK turut bersikap tegas menolak pelemahan dalam revisi UU KPK.
"Jokowi harus pimpin opini publik agar KPK tidak dilemahkan," tegasnya.