Riset Dewan Pers dan LSPR: Pemberitaan Media Selama Pandemi Kurang Empati
Dewan Pers dan Universitas London School of Public Relations (LSPR) melakukan survei terhadap pemberitaan media massa selama pandemi Covid-19. Hasilnya, isi pemberitaan selama pandemi kurang menunjukkan empati.
Dewan Pers dan Universitas London School of Public Relations (LSPR) melakukan survei terhadap pemberitaan media massa selama pandemi Covid-19. Hasilnya, isi pemberitaan selama pandemi kurang menunjukkan empati.
Dalam analisis isi pemberitaan Covid-19 pada media online di Indonesia periode Maret 2020-Februari 2021, Ketua Tim Riset LSPR Joe Harrianto melakukan pemetaan pemberitaan media online di Indonesia tentang Covid-19 dari kategori objektivitas berita dan jurnalisme bencana.
-
Siapa yang memimpin aksi demo petani Kendeng saat pandemi COVID-19? Aksi demo petani Kendeng kembali dilakukan saat pandemi COVID-19. Kala itu mereka menolak aktivitas penambangan yang dianggap berpotensi merusak lingkungan.
-
Siapa yang dilibatkan dalam penanganan pandemi Covid-19 dalam disertasi Kombes Pol Dr. Yade Setiawan Ujung? Analisis ini menawarkan wawasan berharga tentang pentingnya kerjasama antar-sektor dan koordinasi yang efektif antara lembaga pemerintah dan non-pemerintah dalam menghadapi krisis kesehatan.
-
Kapan virus menjadi pandemi? Contohnya seperti virus Covid-19 beberapa bulan lalu. Virus ini sempat menjadi wabah pandemi yang menyebar ke hampir seluruh dunia.
-
Mengapa sulit untuk meneliti mengapa beberapa orang terlindungi dari COVID-19? Mengapa beberapa orang lebih terlindungi daripada yang lain belum jelas, dengan penelitian lapangan yang terhambat oleh kesulitan dalam menentukan momen paparan dengan tepat.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Kenapa Covid Pirola mendapat perhatian khusus? Namun, para pemerhati kesehatan dan ahli virus memberi perhatian lebih terhadap subvarian ini lantaran kemampuan Pirola dalam melakukan breakthrough infections lebih tinggi dibandingkan varian lainnya. Ketika sebuah varian atau subvarian virus COVID memiliki kemampuan breakthrough infections yang tinggi maka akan menyebabkan kasus re-infeksi semakin tinggi.
Salah satu tujuannya untuk mengetahui bagaimana pemberitaan pers mengenai Covid-19 dari sudut pandang jurnalisme bencana. Berita yang dianalisis adalah semua pemberitaan media online di Indonesia yang memberitakan tentang Covid-19. Dari 1.092 jumlah berita yang diteliti, ia menemukan paradigma pers Indonesia hanya 20,2 persen saja yang mengedepankan empati.
"Media itu seharusnya empati. Nah kita lihat bahwa (pemberitaan) yang mengedepankan empati pada korban ternyata hanya 20,2 persen. Selebihnya tidak, hanya melaporkan fakta saja. Jadi beritanya 78,9 atau 80 persen itu ya dingin. Kalau bisa dikatakan ya dingin aja, ya saya hanya ngabarin," paparnya dalam dalam webinar yang diselenggarakan Dewan Pers di Jakarta, Jumat (27/8).
Pemberitaan 'dingin' yang dimaksud Joe adalah, media yang mengabarkan angka-angka korban Covid-19. "Enggak ada empati, empati itu ternyata hanya 20,2 persen (pemberitaan)," imbuhnya.
Joe juga mengungkapkan, pemberitaan pers dari sudut pandang jurnalisme bencana terdapat 27,1 persen pemberitaan pers yang memberikan harapan terhadap penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Namun ada juga sebesar 16,2 persen yang memberikan berita ketakutan akan Covid-19, serta sebanyak 56,7 persen tidak mengandung unsur keduanya.
"Agak menarik, ada juga yang beritanya memberitakan tentang ketakutan. Walaupun jumlahnya 16,2 persen. Jadi ada berita yang menakut-nakuti ya memang beritanya faktanya memang menakutkan. Tetapi ada beberapa teman wartawan, yang beritanya juga selain dia menakutkan dia masih mengedepankan berita yang ada harapan. Bahwa Indonesia masih punya harapan. Dunia masih punya harapan dan yang tidak keduanya sejumlah 56," ujarnya.
Sisi lain yang dianalisis oleh riset ini, ditemukan pemberitaan pers terkait pandemi Covid-19 dapat memberikan pembelajaran kepada masyarakat.
"Yang memberikan pembelajaran lumayan 29,3 persen. Dia memberikan pembelajaran tentang apa itu Covid, bahaya Covid, bagaimana vaksin, bagaimana cara menggunakan masker, nah yang tidak ada 69,2 artinya 70 persen tidak memberikan pelayanan bahkan ada juga yang menyalahkan masyarakat walaupun 1,5 persen" ujarnya.
Dalam riset ini juga ditemukan fakta pemberitaan bencana dalam hal empati terdapat 22,3 persen wartawan yang memiliki unsur antipati, 35,1 persen yang memiliki unsur empati, dan 42,6 persen yang tidak memiliki unsur keduanya. Mengingat pada Oktober 2020, terjadi peristiwa di mana vaksinasi sudah dimulai.
"Ternyata wartawan juga ada yang antipati terhadap perilaku masyarakat, kenapa? karena pada saat ini, pada bulan oktober (2020) kita ingat bulan oktober itu ada gerakan memulai vaksinasi dan ada gerakan masyarakat yang menolak vaksin." paparnya.
Terkait pemberitaan jurnalisme bencana sebagai harapan, ada fakta menarik pada bulan Oktober 2020, ada ketakutan dan harapan tentang pemberitaan vaksin bergabung menjadi satu. Di sisi lain, jurnalisme bencana sebagai pembelajaran, media mulai jenuh memberitakan tentang pembelajaran mengenai Covid-19, padahal secara data angka penderita Covid-19 justru meningkat sepanjang tahun.
Reporter Magang: Leony Darmawan
Baca juga:
Mahfud MD Diskusi dengan Dewan Pers dan Pemimpin Redaksi: Hindari Berita Sensasi
TNI akan Laporkan Media Online ke Dewan Pers Terkait Pemberitaan Konflik Papua
Dewan Pers Kembali Gelar Uji Kompetensi Wartawan di 34 Provinsi
Dewan Pers Apresiasi Pemprov DKI Terkait Vaksinasi Dosis II untuk 4.371 Pekerja Media
Gelar Tes Usap, Dewan Pers Gandeng FIFGROUP, Djarum Foundation dan RSPP
Masyarakat Pers Apresiasi Pemerintah atas Vaksinasi Wartawan