Saling Serang Kubu Ferdy Sambo dan Bharada E
Peluru demi peluru ia keluarkan. Membalas 'serangan' kubu Ferdy Sambo yang kukuh menyebut perintah 'Hajar Chad' kepada Bharada E, bukan menembak Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Bharada E alias Richard Eliezer berontak. Ia tak lagi mengikuti 'arahan' mantan pimpinannya, Ferdy Sambo.
Peluru demi peluru ia keluarkan. Membalas 'serangan' kubu Ferdy Sambo yang kukuh menyebut perintah 'Hajar Chad' kepada Bharada E, bukan menembak Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
-
Apa sanksi yang diterima Ferdy Sambo? Ferdy Sambo diganjar sanksi Pemecetan Tidak Dengan Hormat IPTDH).
-
Siapa yang memimpin Sidang Kode Etik Polri untuk Ferdy Sambo? Demikian hasil Sidang Kode Etik Polri yang dipimpin jenderal di bawah ini: As SDM Polri Irjen Wahyu Widada.
-
Bagaimana proses Sidang Kode Etik Polri untuk Ferdy Sambo? Demikian hasil Sidang Kode Etik Polri yang dipimpin jenderal di bawah ini: As SDM Polri Irjen Wahyu Widada.
-
Siapa Fredy Pratama? "Enggak (Tidak pindah-pindah) saya yakinkan dia masih Thailand. Tapi di dalam hutan," kata Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Mukti Juharsa, Rabu (13/3).
-
Siapa yang berperan sebagai Fadil di sinetron Bidadari Surgamu? SCTV dikenal sebagai salah satu stasiun televisi swasta yang secara konsisten menyajikan tayangan hiburan berupa sinetron berkualitas. Salah satu sinetron andalan SCTV yang digandrungi penonton adalah Bidadari Surgamu. Cerita cinta yang diangkat dalam sinetron ini berhasil menarik perhatian penonton setia layar kaca. Kesuksesan sinetron Bidadari Surgamu ini juga tak lepas dari kehadiran aktor dan aktris muda ternama. Salah satunya adalah Yabes Yosia yang berperan sebagai Fadil.
-
Apa yang dilakukan Fredy Pratama? Nur Utami berubah sejak menikah dengan pria berinisial S, yang dikenal sebagai kaki tangan gembong narkoba Fredy Pratama.
Saling serang antara keduanya terlihat dari saksi ahli yang dihadirkan masing-masing. Kehadiran saksi ahli untuk meringankan bayang-bayang hukuman mati yang menjerat keduanya.
Berikut saling serang antara Ferdy Sambo dan Bharada E yang dicatat merdeka.com:
-Soal justice collaborator
Kubu Ferdy Sambo
Tim Penasihat Hukum Ferdy Sambo sempat mempersoalkan penyematan Justice Collaborator (JC) atau saksi pelaku terhadap Bharada E yang didapat dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dengan meminta pandangan Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mahrus Ali yang hadir sebagai saksi meringankan atau A de Charge.
"Nah, pertanyaan sederhananya, apakah klausul justice collaborator ini bisa digunakan untuk Pasal 340 (Pembunuhan Berencana) atau Pasal 338 (Pembunuhan) (KUHP)?" tanya Tim Penasihat Hukum, Febri Diansyah saat sidang di PN Jakarta Selatan, Kamis (22/12).
Lantas, Mahrus menjelaskan jika Pasal 28 Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerangkan justice collaborator hanya diberikan kepada pelaku tindak pidana tertentu untuk beberapa jenis pidana.
"Persoalannya itu adalah karena di Pasal 28 itu kan JC itu hanya diberikan kepada pelaku tindak pidana tertentu. Di situ dijelaskan pelakunya kan banyak tuh jenisnya tindak pidananya, cuma di situ ada klausul yang umum lagi termasuk kejahatan-kejahatan lain yang ada potensi serangan dan itu harus berdasarkan keputusan," kata Mahrus.
Lalu, Mahrus menambahkan, hanya tersangka tindak pidana kasus pencucian uang, korupsi, narkotika, dan kasus kekerasan seksual yang boleh diberikan status justice collaborator. Sejauh ini, Mahrus mengatakan tersangka pembunuhan tidak bisa mendapatkan status tersebut.
"Dalam konteks ini maka sepanjang tidak ada keputusan ya ikuti jenis tindak pidana itu, apa tadi pencucian uang, korupsi, narkotika kemudian apa lagi perdagangan orang, kekerasan seksual, pembunuhan tidak ada di situ," ujar Mahrus.
Kubu Bharada E
Pada kesempatan lain, Tim Penasihat Hukum Bharada E seperti menyerang balik keterangan ahli dari Sambo. Dengan memakai pendapat ahli meringankan dari Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti, Albert Aries.
"Tetapi dalam penjelasan terakhir, ada frasa lain di situ yang tidak boleh dibaca secara parsial. Di sana dikatakan bahwa tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya," kata Albert saat sidang di PN Jakarta Selatan, Rabu (28/12).
Atas dasar itulah, Albert menilai kalau pemberian JC akan dilakukan secara objektif oleh LPSK dalam kewenangan memberikan perlindungan sebagaimana Syarat sesuai Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Dimana dari aturan yang disorot Albert, tertuang dalam Poin E yang menjelaskan adanya penekanan ancaman dialami oleh yang bersangkutan. Sebagai pertimbangan pemberian perlindungan dalam hal ini Bharada E.
"Nah poin menarik adalah di Poin E adanya ancaman nyata atau kekhawatiran mengenai kejadian ancaman fisik atau psikis terhadap saksi pelaku atau keluarganya. Padahal kita tahu ya, dalam tadi tidak ada saksi pelaku. Tetapi dalam konteks perlindungan gitu," kata dia.
"Dan lima item tadi tidak harus dipenuhi secara kumulatif. Contoh di poin c mengatakan asetnya nanti akan dikembalikan kan tidak ada kaitannya pembunuhan dengan aset," tambah dia.
Selain itu, Albert juga mengatakan bahwa LPSK berhak memberikan perlindungan Pasal 28 ayat 2 perihal pentingnya informasi dari saksi untuk mengungkap suatu perkara.
"Perlindungan itu bisa diberikan kepada seseorang yang memang ingin mengungkap suatu kejahatan. Sebenarnya definisi kejahatan serius ini kan berbeda. Tetapi gini, kita bisa melihat dari Pasal 6 konvensi hak sipil politik yg telah diratifikasi Indonesia melalui UU 12/2005 tentang ICCPR," ujarnya.
-Lie Detector
Kubu Ferdy Sambo
Di samping soal JC, Tim Penasihat Hukum Ferdy Sambo mempersoalkan keabsahan hasil lie detector atau tes deteksi alat kebohongan. Kubu Sambo menilai hasil tes kejujuran tersebut tidak bisa dijadikan barang bukti dalam persidangan.
Melalui Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mahrus Ali. Ia berpendapat kalau hasil lie detectorseharusnya tidak bisa digunakan sebagai alat pembuktian dalam perkara.
Konteks jawaban dari Mahrus diawali dengan pertanyaan dari Tim Penasihat Hukum, Rasamala Aritonang yang mempersoalkan keabsahan dari hasil lie detector ketika dijadikan sebagai alat bukti.
"Apakah kemudian dalam konteks tadi saudara jelaskan bukti tersebut dapat digunakan atau tidak apabila tidak sesuai dengan aturan yang seharusnya?" tanya Rasamala saat sidang, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (22/12).
"Itu dasar hukumnya bentuknya apa?" tanya Mahrus memastikan.
"Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Nomor 10 Tahun 2009," jawab Rasamala.
Atas jawaban tersebut, Mahrus menilai jika proses pemeriksaan dengan lie detector seharusnya didasari dan diatur melalui hukum acara dalam undang-undang yang berlaku.
"Artinya apa itu tidak legal harusnya (lie detector). Artinya apa, tidak boleh menggunakan dasar itu sebagai dasar untuk membuktikan poligraf. kenapa karena dia juga dasarnya bukan undang-undang," jelas Mahrus.
Sebab, Mahrus menyampaikan ada aturan dalam hukum hak asasi manusia (HAM) yang membatasi atau limitasi untuk apa saja yang berlaku sebagai pembuktian dalam hukum acara.
"Jadi di dalam hukum HAM itu ada namanya limitasi, pembatasan hak itu dengan undang-undang yang mulia termasuk mengatur hukum acara," jelasnya.
Pun, ia mengatakan dalam hukum pidana setiap kasus harus didasari dengan alat bukti yang sah. Syarat alat bukti itu sah pun dilandasi dengan prosedur yang benar dan materil atau sumber hukum yang mengaturnya.
"Kalau ini alat bukti itu sah harus ada dua, satu caranya sah mengikuti prosedurnya, kedua materilnya sah. kalau tidak diikuti bisa jadi hasilnya tidak valid," ucapnya.
Kubu Bharada E
Sementara pada sidang hari ini, melalui Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti, Albert Aries memandang hasil tes lie detector bisa jadi alat bukti yang sah dalam persidangan. Termasuk dalam perkara dugaan pembunuhan berencana, Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Pendapat itu disampaikan, Albert saat hadir sebagai saksi ahli meringankan atau A de Charge dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir J atas terdakwa Richard Eliezer alias Bharada E saat sidang di PN Jakarta Selatan, Rabu (28/12).
Berawal dari pertanyaan Tim Penasihat Hukum Bharada E soal keabsahan hasil lie detector seluruh terdakwa perkara pembunuhan berencana Brigadir J yang telah sebelumnya dipaparkan saat sidang dan turut diragukan dari ahli pidana meringankan Tim Penasihat Hukum Ferdy Sambo.
"Bagaimana pendapat ahli dalam menilai kekuatan pembuktian dari keterangan ahli poligraf?" tanya tim Penasihat Hukum saat sidang.
Kemudian, Albert mengatakan perihal barang bukti sejatinya sudah diatur dalam Pasal 39 KUHP dan alat bukti sudah diatur dalam Pasal 184 KUHP. Namun dalam prakteknya memang soal lie detector belum diatur. Karena, merupakan metode pembuktian yang baru.
"KUHP membedakan alat bukti dengan barang bukti. Barang bukti diatur dalam Pasal 39 KUHP, alat bukti diatur (Pasal) 184 KUHP yang limitatif ada saksi ada surat ahli petunjuk keterangan terdakwa," kata dia
"ketika ada metode seperti itu yang mungkin belum termaktub atau diatur dalam kuhp karena prinsip hukum acara itu limitatif dan interaktif, terbatas dan memaksa," tambahnya.
Sehingga Albert menjelaskan jika hasil lie detector bisa saja dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan dengan syarat dipaparkan oleh ahli terkait dan sah menjadi salah satu yang menjadi pertimbangan hakim.
"Kita ketahui KUHP ini dari tahun 81 banyak tidak update dengan perkembangan terkini, teknologi sebagainya. Maka ketika hasil metode itu dibunyikan, maka ketika hasil pemeriksaan itu dibunyikan oleh keterangan ahli, maka dia bisa menjadi alat bukti yang sah dan sepenuhnya pertimbangannya otoritatif hakim untuk menilai," bebernya.
Sebelumnya hasil Lie Detector sempat dibeberkan Ahli Polygraph Polri bidang Komputer Forensik, Aji Febriyanto. Terkait hasil tes kejujuran atau lie detector Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal, Kuat Ma'ruf dan Bharada Eliezer.
Hasilnya, Ferdy Sambo nilai totalnya -8 (Bohong), Putri Candrawathi -25 (Bohong), Kuat Ma'ruf dua kali pemeriksaan, yang pertama hasilnya +9 (Jujur) dan kedua -13 (Bohong), Bripka RR dua kali juga pertama +11 (jujur), kedua +19 (jujur), Bharada E +13 (jujur).
Adapun nantinya pendapat kedua ahli tersebut akan menjadi bahan pertimbangan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam menjatuhi hukuman atas para terdakwa.
(mdk/rhm)