Satpol PP beri SP II, Komunitas Angklung Yogyakarta ngadu ke DPRD
Sugiarto memaparkan SP yang diberikan oleh Satpol PP, perda yang digunakan adalah Perda DIY nomor 5 tahun 2004 tentang penyelenggaraan lalu lintas pasal 17 dan pasal 26. Selain itu digunakan juga Perda DIY no 1 tahun 2014 tentang penanganan gelandangan dan pengemis.
15 Komunitas angklung yang tergabung ke dalam Paguyuban Angklung Yogyakarta (PAY) mengadu ke Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Pandawa. Aduan ini dikarenakan adanya larangan para pemain musik angklung ini untuk berkegiatan di trotoar jalan raya.
Larangan berkegiatan tersebut dikeluarkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DIY. Menurut Alim, salah seorang anggota PAY, Satpol PP DIY sudah memberikan dua kali surat peringatan (SP) kepada PAY. SP I dilayangkan Satpol PP pada 24 Mei 2016. Sedangkan SP II diberikan pada 23 Maret 2017.
"Pegiat seni angklung sudah ada sejak tahun 2009 hingga sekarang. Dulu aman-aman saja. Tidak ada SP-SP sama sekali. Kemudian tiba-tiba ada SP I dan SP II dari Satpol PP DIY," terang Alim, Selasa (4/4).
Sedangkan menurut Sugiarto, Direktur LKBH Pandawa, para pegiat kesenian angklung ini merasa diberlakukan tidak adil dengan adanya SP I dan SP II dari Satpol PP DIY. Para pegiat angklung ini, lanjut Sugiarto, diberlakukan tidak adil karena mereka dilarang untuk beroperasi. Padahal mereka merupakan pegiat seni dan yang dilakukan merupakan upaya mengembangkan kesenian angklung di Yogyakarta.
"Selain itu, para pegiat seni angklung ini distigmakan sebagai gelandangan dan pengemis. Padahal mereka punya identitas yang jelas dan punya kemampuan seni yang mumpuni," tutur Sugiarto.
Sugiarto memaparkan SP yang diberikan oleh Satpol PP, perda yang digunakan adalah Perda DIY nomor 5 tahun 2004 tentang penyelenggaraan lalu lintas pasal 17 dan pasal 26. Selain itu digunakan juga Perda DIY no 1 tahun 2014 tentang penanganan gelandangan dan pengemis.
"Satpol PP mendasarkan pada Perda lalu lintas dalam SP nya. Satpol PP berdalih mengganggu trotoar. Padahal para pemain angklung ini tidak memakai trotoar sepenuhnya. Mereka hanya sementara saja memakainya. Mereka juga tidak membuat atau mendirikan tenda di trotoar. Ada perlakuan diskriminatif dipenggunaan Perda ini," jelas Sugiarto.
Sedangkan untuk penggunaan Perda tentang gelandangan dan pengemis, sambung Sugiarto, juga dirasakan tak tepat penggunaannya. Pasalnya para pemain angklung ini mengembangkan kesenian dan menghibur masyarakat dan bukan bagian dari mengemis.
"Berdasarkan SP 2, para pegiat angklung ini diberi waktu 7 hari untuk menghentikan operasinya. Jika masih beroperasi terhitung sejak Jumat 7 Maret mendatang akan dilakukan razia kepada para pegiat angklung di jalan raya. Karena mengacu pada Perda Gelandangan dan Pengemis maka saat dirazia akan ada pidananya. Karena dalam KUHP juga ada pasalnya," jelas Sugiarto.
Sugiarto menambahkan bahwa menanggapi adanya larangan para pemain angklung untuk beroperasi maka pihaknya sudah menyiapkan beberapa langkah. Langkah ini akan ditempuh menggunakan jalur litigasi maupun non litigasi.
"Kita akan adukan ini ke DPRD DIY. Kita ingin agar DPRD bisa menjadi mediator antara pegiat angklung dengan Satpol PP. Terkait adanya kemungkinan malapraktek, kami akan melaporkan kasus ini ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan DIY-Jateng," pungkas Sugiarto.