Sejumlah gua Jepang di Yogyakarta tak terurus
Peneliti mengaku tak berdaya karena pengelolaan gua ada di tangan masyarakat dan pemerintah setempat.
Kondisi sejumlah gua dan bunker peninggalan masa penjajahan Jepang di Yogyakarta kabarnya terbengkalai. Padahal menurut Balai Arkeologi Yogyakarta, bangunan bersejarah itu dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata.
"Keberadaan bangunan gua-gua dan bunker peninggalan penjajahan Jepang, sampai saat ini belum dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah daerah setempat. Seperti yang ada di Kabupaten Sleman dan Bantul," kata Peneliti Sarana Pertahanan Jepang Masa Perang Dunia Kedua, Balai Arkeologi Yogyakarta, Muhammad Chawari, Kamis (31/3).
Menurut Chawari, ada lebih dari 25 gua berada di Kabupaten Sleman, dan paling banyak berada di kawasan lereng Gunung Merapi. Kondisinya sampai kini masih terbengkalai.
"Padahal gua-gua itu merupakan suatu potensi yang bisa dimanfaatkan pemerintah daerah sebagai obyek wisata. Sehingga bisa menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sisi wisatanya. Dan juga bisa untuk menambah wawasan bagi masyarakat," ujar Chawari.
Chawari mengatakan, gua peninggalan Jepang di Sleman paling banyak terdapat di lereng Gunung Merapi, yang jumlahnya mencapai 25 unit. Tepatnya di atas Telaga Nirmala dan Tlogo Putri. Kemudian, ada empat gua di bukit Candi Abang, Berbah.
"Di Bantul ada di bukit dekat Pantai Parangtritis," ucap Chawari.
Chawari mengatakan, gua-gua peninggalan Jepang itu mempunyai unsur pertahanan dan penyerangan. Digunakan oleh Jepang pada saat menjajah Indonesia.
"Dilihat dari sisi konstruksinya, di dalamnya ada jalur-jalur 'tikus' (jalur kecil)," lanjut Chawari, seperti dilansir dari Antara.
Chawari menyampaikan, dikhawatirkan jika tidak dikelola dengan baik, situs itu akan mengalami nasib sama dengan gua-gua Jepang di daerah lain. Seperti di Purworejo, Kudus, dan Lumajang.
"Di Purworejo dan Kudus itu masih banyak yang tertutup oleh tanah. Selain itu juga ada gua yang sudah ada pemanfaatan. Tapi tidak tepat," imbuh Chawari.
Gua Jepang berada di tengah pemukiman, kata Chawari, kini digunakan sebagai gudang oleh warga.
"Bahkan, di Lumajang, Jawa Timur, ada yang dipakai untuk tempat menimbun sampah," tambah Chawari.
Soal bunker, lanjut Chawari, karena ada konstruksi beton cornya, malah dirusak buat diambil kerangka besinya dan dijual.
"Gua dan bunker dulu digunakan untuk sarana ofensif (menyerang) dan tempat bersembunyi," ucap Chawari.
Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta, Siswanto, mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak berwenang mengelola situs gua itu, dan hanya bertugas melakukan penelitian di lokasi berada di wilayah kerjanya, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, serta Jawa Timur.
"Sementara untuk pengelolaannya diserahkan masyarakat sekitar, atau juga pemerintah daerah setempat. Dalam melakukan penelitian pun benda-bendanya tidak dibawa ke kantor," kata Siswanto.