Sidang kriminalisasi 26 buruh, polisi diduga pura-pura tak tahu
Perkara penangkapan 26 aktivis buruh terjadi saat unjuk rasa menuntut pemerintah mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015.
Persidangan perkara dugaan kriminalisasi 26 aktivis buruh pada aksi unjuk rasa 30 Oktober 2015 lalu, mengagendakan pemeriksaan terhadap saksi anggota Polres Metro Jakarta Pusat, Ajun Inspektur Satu Masirin. Dalam kesaksiannya, Masirin mengaku tidak tahu perihal penangkapan puluhan buruh karena tugasnya hanya merekam aksi demonstrasi.
Kuasa hukum aktivis buruh dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Maruli mengatakan, kepolisian mencoba menutup fakta penangkapan saat terjadi demonstrasi. Pihaknya bahkan ragu jika Masirin tidak tahu perihal penangkapan itu.
"Tidak mungkin saksi (Masirin) tidak tahu. Dia kan ada di lokasi unjuk rasa sampai jam sembilan malam, pasti ada yang ditutupi," kata Maruli usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/6).
Saksi, lanjut Maruli, tidak merekam peristiwa demonstrasi dengan baik. Saat kejadian, Masirin hanya merekam kejadian yang menguntungkan kepolisian.
Selain Masirin, PN Jakarta Pusat juga memeriksa lima anggota polisi lain. Kelima polisi ini merupakan mereka yang melakukan penangkapan dan provost yang mendampingi Kapolres Jakarta Pusat Kombes Hendro Pandowo.
Dalam persidangan sebelumnya, Hendro mengaku tidak mengetahui perihal penangkapan 26 aktivis buruh. Hendro berdalih, penangkapan merupakan petugas gabungan dari Reserse Polres Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya.
Perkara penangkapan 26 aktivis buruh terjadi saat unjuk rasa menuntut pemerintah mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015 yang berorientasi pada upah murah pada 30 Oktober 2015. Saat itu, sekitar ribuan buruh yang berdemonstrasi melebihi waktu yang ditentukan, yakni hingga pukul 18.00 WIB.
Polisi yang sejak pukul 18.00 WIB telah memberikan peringatan, tidak dihiraukan para buruh, hingga akhirnya terjadi bentrokan. Selain melukai sejumlah buruh, polisi menangkap 26 aktivis buruh tersebut.