Sineas Purbalingga raih penghargaan di Denpasar Film Festival
Film berdurasi 25 menit 43 detik tersebut menyisihkan empat nominasi karya lainnya.
Film dokumenter 'Di Atas Air dan Batu' karya sineas asal Purbalingga Jawa Tengah, Bowo Leksono, raih predikat film terbaik dalam Denpasar Film Festival 2015. Film berdurasi 25 menit 43 detik tersebut menyisihkan empat nominasi karya lainnya dalam kategori film dokumenter pada ajang tersebut.
Menurut Bowo Leksono, penghargaan yang diraih dalam festival tersebut merupakan bonus. Dalam ajang itu, film tersebut mampu menyisihkan empat karya unggulan lain yaitu, 'Hamemayu Hayuning Bawana' sutradara Diyah Verakandhi dari Yogyakarta, 'Lasem, Balada Kampung Naga' sutradara M Iskandar Tri Gunawan dari Yogyakarta, 'Kakek Si Pemburu Lebah' sutradara Gede Seen dari Buleleng, dan 'Bersama Lupus' sutradara Galih Seta Dananjati dari Denpasar.
"Bagi kami, festival merupakan salah satu media untuk mengabarkan pemikiran tentang realita yang ada di masyarakat. Dalam film kami, peran perempuan tidak bisa diabaikan sebagai tulang punggung keluarga bahkan dalam komunitas tertentu memegang peran utama," ungkap Bowo Leksono melalui rilis yang diterima, Kamis (20/8).
Film pendek yang diproduksi Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF-CJI) tersebut berkisah tentang Mollo, yakni satu daerah di wilayah kaki pegunungan Mutis, Timor, Nusa Tenggara Timur Mollo dan Morodemak yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Dalam film tersebut digambarkan upaya masyarakat setempat dalam menghargai air. Sebab, hampir seluruh warga Mollo adalah petani, peternak, dan pekebun secara subsisten dengan bergantung pada air hujan. Sementara, warga Morodemak berprofesi sebagai nelayan, petambak, pedagang, buruh, dan petani sawah tadah hujan.
Kedua wilayah yang berjauhan letak geografisnya disandingkan dalam film ini untuk membandingkan bagaimana masyarakat di kedua desa tersebut menghargai dan memperlakukan air.
Ketua dewan juri Slamet Rahardjo Djarot, bersama juri lain yaitu, Dr Lawrence Blair, Prof I Made Bandem, I Wayan Juniarta, Bre Redana, dan Rio Helmi menilai karya dokumenter tersebut merupakan karya yang paling memiliki narasi yang koheren, perspektif yang menarik, serta titik pijak dan pemihakan yang tegas dibanding film-film unggulan lain.
"Bagaimana perjuangan dua komunitas perempuan dalam menghadapi perubahan pola cuaca yang mengancam keberlangsungan ekonomi keluarga dan komunitas mereka memberikan film ini nilai tematik yang lebih unggul dibandingkan film-film lainnya," ujar Slamet Rahardjo Djarot.
Denpasar Film Festival sendiri keberadaannya dimulai sejak tahun 2010 dengan nama Festival Film Dokumenter Bali (FFDB). Selain kategori umum juga mengusung kategori pelajar khusus pelajar Bali. Tahun ini DFF mengangkat isu dan tema 'Air dan Peradaban'.