Soal Netizen RI Paling Tak Sopan, Kemendikbud Soroti Kesantunan Pelajar Bermedsos
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukaan (Balitbangbuk), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaab (Kemendikbud), Totok Suprayitno mengatakan bahwa salah satu disrupsi digital yang kurang mendapat penanganan serius adalah kesantunan dan karakter.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukaan (Balitbangbuk), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaab (Kemendikbud), Totok Suprayitno mengatakan bahwa salah satu disrupsi digital yang kurang mendapat penanganan serius adalah kesantunan dan karakter.
"Isu kesantunan dan karakter ini saya kira juga bagian dari disrupsi digital, bahkan bisa menjadi sangat permanen dan fundamental sehingga sangat penting menjadi bagian dari program pendidikan kita," kata Totok dalam keterangan tertulis, Jumat (2/4).
-
Kata-kata lucu apa yang dibagikan di media sosial? Kata-Kata lucu yang dibagikan di medsos bisa menjadi hiburan bagi orang lain.
-
Apa yang dilakukan Rumiyati Ningsih di media sosial? Jadi Seorang Selebgram Tuh, beda banget sama suaminya yang kerja di film, Rumiyati malah asyik banget di sosmed, sekarang jadi selebgram nih.
-
Kenapa kata-kata lucu di media sosial bisa menghibur? Kata-Kata lucu yang dibagikan di medsos bisa menjadi hiburan bagi orang lain.
-
Kenapa Situ Cipanten viral di media sosial? Tak ayal, lokasi wisata ini sempat viral di media sosial karena keindahannya, dan didatangi pengunjung dari berbagai daerah.
-
Kenapa rumah sultan di Sidoarjo menjadi sorotan media sosial? Sebuah rumah megah dengan gaya dekorasi klasik seperti istana Disney tengah menjadi sorotan media sosial. Rumah tersebut dimiliki oleh HJ. Mawar Wahyuningsih, seorang pengusaha asal Sidoarjo yang terkenal rendah hati meskipun memiliki kekayaan luar biasa.
-
Kata-kata apa yang sering ditemukan di media sosial? "Kata-kata hari ini adalah kalimat yang sering diucapkan di medsos. Biasanya orang yang mendapatkan pertanyaan ini akan mengungkapkan sebuah kalimat inspiratif yang memotivasi orang."
Totok melanjutkan, sebagaimana diketahui elemen inti (the core of element) dari pendidikan adalah karakter. Lebih lanjut, dia merujuk pada kutipan yang mengatakan education without character is not education at all.
"Kemudian, kalau elemen inti dari pendidikan itu disruptif, kemudian kita menganggap bahwa seolah-olah itu tidak ada, itu saya kira sebuah kesalahan besar," ujar dia.
Perubahan sistem nilai dalam hal kesopanan, baik atau tidak baik, semestinya kata Totok, ada pijakan yang lebih jelas. Hal itu mengingat Indonesia sarat keragaman budaya.
"Boleh Anda mengglobal, bergaul dengan siapa pun, tetapi pijakan niai-nilai ke-Indonesiaan-nya jangan dilupakan, jangan terbawa arus apalagi yang negatif," tutur Totok.
Sementara itu, Plt Kepala Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbangbuk, Kemendikbud, Irsyad Zamjani mengutip hasil survei yang dilakukan oleh Microsoft di Asia Pasifik yang secara ringkas mengatakan bahwa tingkat kesantunan digital (digital civility) dari masyarakat Indonesia paling rendah se-Asia Tenggara.
"Hasil survei dari Microsoft salah satunya menunjukkan bahwa tingkat kesantunan kita dalam konteks digital itu kurang menggembirakan, tentu saja ini sangat debatable karena di media massa dan media sosial itu cukup mengundang pro dan kontra terhadap hasil dari survei Microsoft ini, tetapi kita dapat mengambil sebagai bahan masukan, terutama untuk memperkuat pendidikan karakter dalam konteks kebijakan di Kemendikbud," ujar dia.
Irsyad Zamjani menambahkan bahwa media sosial telah menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari, terutama bagi pelajar dan mahasiswa. Untuk itu, kesantunan dalam memanfaatkan media digital, khususnya media sosial perlu ditekankan dalam pendidikan karakter, terutama di zaman digital saat ini.
Baca juga:
Ganjar: Masyarakat Harus Lebih Cerdas Memilih Informasi, Teliti dan Cermat
79 Akun Ditegur Polisi Virtual, Ada Motif Sentimen Pribadi Diunggah ke Medsos
Aktivis sebut UU ITE Perlu Direvisi Total
LinkedIn Ungkap Tengah Kembangkan Fitur Mirip Clubhouse
Setelah Diblokir, SnackVideo Sebut Kini Sudah Kantongi Izin Beroperasi
Laporan Polisi Tak Ada Progres, Korban Perkosaan di Makassar Curhat di Medsos
Tingkat Kesopanan Netizen Indonesia Paling Rendah di Asia Tenggara
Di Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat terakhir terkait tingkat kesopanan online, memburuk sampai 8 poin menjadi 76, berdasarkan laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) Microsoft.
Remaja tak berkontribusi (positif atau negatif) terhadap skor Indonesia pada 2020. Penurunan CDI Indonesia disebabkan oleh orang dewasa, menambah 16 poin. Demikian dikutip dari laman Mashable, Selasa (23/2).
Meskipun demikian, masih ada penurunan signifikan dalam 'rasa sakit yang luar biasa' akibat aktivitas online negatif, hingga 15 poin. Tiga risiko online terbesar adalah hoaks dan penipuan, ujaran kebencian, dan diskriminasi.
Empat dari 10 orang mengatakan kesopanan online lebih baik selama Covid-19, berkat rasa kebersamaan yang lebih besar dan saling membantu satu sama lain. Tetapi hampir lima dari 10 orang terlibat dalam insiden intimidasi, dengan 19 persen responden mengatakan mereka menjadi sasaran. Dan sekali lagi, kaum milenial adalah yang paling terpukul.
Sementara itu, Singapura kembali membuktikan menjadi negara percontohan di Asia Tenggara, menempati posisi keempat di dunia terkait tingkat kesopanan aktivitas online. Artinya, Singapura juga menjadi negara paling sopan dalam aktivitas online di Asia Tenggara.
Laporan tersebut, yang mengulas 16.000 responden di 32 negara, menilai kualitas interaksi online netizen pada 2020.
Singapura naik ke peringkat empat dalam penelitian terbaru, sebelumnya berada pada peringkat kelima, mengambil alih posisi yang sebelumnya ditempati Malaysia.
Penelitian ini menyurvei para remaja dan orang dewasa dari masing-masing negara, di mana Belanda, Inggris, dan AS berada di tiga besar secara berurutan.
Di Singapura, peningkatan DCI sebagian besar dipimpin oleh remaja, menyumbang -7 poin, dengan orang dewasa menyumbang -1 poin. Hal ini juga mengakibatkan penurunan 'rasa sakit yang luar biasa' yang signifikan yang disebabkan oleh interaksi online negatif, sebesar -6 poin.
Sebanyak 54 persen responden Singapura mengatakan mereka membela diri atau diam sebelum membalas orang yang tidak setuju dengan mereka.
Tiga risiko dunia maya yang dihadapi warga Singapura yaitu hoaks dan scam atau penipuan, ujaran kebencian, dan diskriminasi. Terkait perisakan dunia maya, 20 persen responden mengatakan mereka menjadi target perundungan, sementara 34 persen mengatakan mereka terlibat dalam insiden perundungan. Secara keseluruhan, kaum milenial yang paling terpukul dalam kasus ini, tepatnya 41 persen dari mereka.
Selain itu, tiga dari 10 orang Singapura mengatakan kesopanan online memburuk selama pandemi Covid-19 karena penyebaran berita palsu dan informasi yang keliru.
Malaysia menambah empat poin pada tingkat kesopanan online-nya, yang lebih buruk dari sebelumnya.
Di belakang Singapura (59 poin), secara regional, adalah Malaysia dengan total 63 poin. Skor negara ini sebenarnya memburuk dengan empat poin pada tahun 2020. Di Malaysia, orang dewasa berkontribusi pada penurunan kesopanan online.
Meskipun demikian, negara tersebut mengalami penurunan 14 terkait 'rasa sakit yang luar biasa' dari interaksi online yang negatif. Selain itu, 64 persen responden mengatakan mereka membela diri sendiri atau memperlakukan orang lain dengan bermartabat dan hormat.
Terkait Covid-19, hampir empat dari 10 orang mengatakan aktivitas online meningkat berkat orang yang bersama-sama saling membantu mereka yang terdampak pandemi.
Setelah Malaysia, kemudian Thailand, dengan total 69 poin. Negara ini baru dimasukkan dalam penelitian pada 2020 sehingga belum terlalu banyak informasi terkait aktivitas onlinenya. Namun demikian, 35 persen responden mengalami ‘sakit yang tak tertanggungkan’ pada 2020.
Tiga risiko online terbesar di Thailand adalah kontak yang tak diinginkan, agresi mikro (serangan secara halus), dan pesan mesum yang tak diinginkan. Sumber masalah ini sebanyak 50 persen berasal dari orang asing.
Dan tidak seperti Singapura dan Malaysia, demografis Gen Z Thailand yang paling terpukul perisakan online pada 2020.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa hampir empat dari 10 orang yang terlibat dalam insiden perisakan, dengan 12 persen mengatakan bahwa mereka adalah sasaran perisakan.
Sementara itu, Vietnam meningkat enam poin, menjadikannya salah satu negara yang paling meningkat secara global. Vietnam memiliki total 72 poin pada tahun 2020.
Para remaja berkontribusi paling besar dalam peningkatan ini. Selain itu juga terjadi penurunan 15 poin dalam 'rasa sakit yang luar biasa'.
Tiga risiko online terbesar yang dihadapi negara tersebut pada tahun 2020 adalah hoaks dan penipuan, ujaran kebencian, dan diskriminasi.
Namun, karena rasa kebersamaan yang lebih besar dan melihat lebih banyak orang membantu orang lain, sebagian besar orang mengira kesopanan online menjadi lebih baik selama Covid-19.
Namun demikian lebih dari 50 persen responden mengatakan mereka terlibat dalam insiden intimidasi, dengan 20 persen mengatakan bahwa mereka adalah sasarannya. Korban terbesar: Milenial.
Sistem penilaian laporan berkisar dari skala nol hingga 100, dengan skor yang lebih rendah setara dengan eksposur yang lebih rendah terhadap risiko online, sehingga menghasilkan tingkat kesopanan online yang lebih tinggi. Pada dasarnya, negara mulai dari 100 poin.
Reporter: Yopi Makdori
Sumber: Liputan6.com