Sulit tangkal terorisme, Polri desak pemerintah revisi UU Terorisme
Polisi tidak bisa melarang seseorang untuk bergabung ISIS lantaran UU tidak mengatur hal itu.
Kepolisian Republik Indonesia meminta pemerintah merevisi Undang-undang (UU) tentang terorisme. Pasalnya, dengan UU terorisme sekarang, langkah polisi untuk menjerat para teroris di tanah air masih terbatas.
"Kalau kami tangkal, pakai undang-undang apa? Kami tidak bisa menjerat," kata Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Anton Charliyan di Mabes Polri, Jakarta, Senin (19/1).
Anton mengatakan selama ini pihaknya tidak bisa menjerat warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki ideologi Negara Islam Iraq dan Suriah (ISIS). Padahal, seharusnya WNI yang diketahui bergabung dengan ISIS di Suriah dilarang kembali ke wilayah Indonesia.
Selain itu, Anton menyesalkan kepolisian tidak bisa melarang seseorang untuk bergabung ISIS lantaran UU terorisme belum mengatur hal tersebut. "Tapi kan regulasinya perlu ada perubahan," ungkap dia.
Bukan tanpa alasan kepolisian mendesak adanya perubahan UU terorisme, dinilai Anton, teroris adalah kejahatan yang paling serius. Oleh karenanya, pemerintah sudah sepatutnya merevisi UU terorisme.
Anton mengungkapkan dari hasil pengintaian kepolisian, jumlah teroris yang tersebar di wilayah Indonesia sudah mencapai ribuan orang. Bahkan, kuat dugaan anggota kelompok ISIS semakin meningkat.
Meski sudah mengetahui letak dan jumlah anggota ISIS, polisi tidak bisa berbuat banyak. Mengingat wewenang polisi untuk menangkap teroris cukup terbatas. Di mana polisi hanya bisa menangkap para teroris bila terlibat aksi teror.
"Kami belum bisa menindak sebelum ada bukti permulaan cukup. Misalnya, dia merakit bom atau mengumpulkan gotri-gotri," jelas Anton.
Pada kesempatan itu, Anton membandingkan UU terorisme di Indonesia dengan negara Malaysia. Jenderal bintang dua ini pun mengaku salut dengan peraturan terorisme milik negeri jiran tersebut.
Oleh karenanya, lanjut Anton, kepolisian sepakat jika UU terorisme direvisi. Hanya saja, dia belum bisa menyebutkan pasal-pasal apa saja yang harus dirubah.
"Bahkan nama teroris saja tidak bisa masuk ke sana. Apakah nanti kita akan meniru sistem keamanan Malaysia atau Amerika, itu belum tahu," pungkas Anton.