Tokoh PKI Musso, saat kecil santri yang cerdas
"Saya kira dia paham agama, apa yang dia lakukan semata untuk melawan Belanda," tambah Gus Ibiq.
Tokoh PKI Musso ternyata adalah keturunan pendiri Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Musso adalah anak dari KH Hasan Muhyi yang menikah dengan Nyai Juru.
Putra seorang kiai dan berada di lingkungan pesantren sejak kecil, tentu saja Musso kecil rajin nyantri. Cerita ini disampaikan oleh KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri. Menurut Gus Ibiq, sapaan Hamdan Ibiq, Musso selain masih keluarganya, juga pernah nyantri layaknya putra para kiai, penuturan ini berdasarkan cerita dari para leluhurnya.
“Tidak disebutkan jelas di mana dia nyantri, tapi berdasarkan keterangan kakek buyut saya, Musso merupakan anak yang cerdas kala dia nyantri," kata Gus Ibiq kepada merdeka.com.
Hingga sekarang, pihak keluarga meyakini bahwa apa yang dilakukan Musso dengan gerakannya itu lebih pada pilihan politik, bukan ideologis. "Saya kira dia paham agama, apa yang dia lakukan semata untuk melawan Belanda,” tambah Gus Ibiq.
Gus Ibiq lantas mengajak merdeka.com ke makam pendiri pesantren, KH Hasan Muhyo dan Nyai Juru. Makam keduanya berada di kompleks Pondok Pesantren Kapurejo. Kompleks makam keluarga yang berjarak 200 meter dari lokasi pesantren induk ke arah belakang. Makam KH Hasan Muhyi berjajar di antara makam keluarga lainnya, sedangkan makam Nyai Juru berada lebih atas dengan nisan batu layaknya nisan orang kuno.
Posisi makam yang berbeda ternyata disebabkan Nyai Juru lebih dahulu meninggal dibandingkan KH Hasan Muhyi. Sebab berdasarkan silsilah keluarga KH Hasan Muhyi menikah sebanyak tiga kali.
Dari makam kedua orangtua Musso, merdeka.com menuju Desa Jagung yang berjarak kurang lebih 4 kilometer dari Ponpes Kapurejo dengan tujuan mencari rumah peninggalan orang tua Musso. Sebuah fakta mengejutkan, rumah di ujung desa tersebut sudah lenyap dan terganti dengan rumah-rumah baru sejak 5 tahun lali. Sebab digambarkan sebelumnya rumah orang tua Musso rumah berbentuk rumah tradisional srotong atau doro gepak yang terbuat dari kayu jati.
Di depan rumah Muso, ada pohon durian yang sangat besar, dan selalu berbuah lebat di setiap musim durian. Selain salah satu orang kaya dan terpandang, Nyai Juru selalu memberi perhatian kepada para tetangganya, salah satunya mengajak bermain ke rumahnya.
"Saya pernah main ke rumah itu saat saya masih kecil, namun saya tidak pernah bertemu Musso, sebab dia memang jarang pulang. Saya pun hanya mendapatkan cerita, Musso sesekali pulang menjenguk ibunya (Nyai Juru) yang sedang sakit. Di saat Muso pulang itu biasanya ada penggerebekan, namun dia selalu lolos, penggerebekan itu lebih karena karena ketokohannya," kata Nur Hasan (85) salah seorang warga di Desa Jagung.
Gambaran perjalanan Muso akhirnya diteruskan kepada sumber organik yang lain yakni Ustaz Nurudin (85) warga Dusun Santren Desa Jagung Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Menurutnya, KH Hasan Muhyi dulu juga sempat membuat pesantren di wilayah Dusun Santren, Desa Jagung, Kecamatan Pagu.
"Pesantrennya hanya berbentuk langgar angkringan (mushala bambu) tepatnya tahun berapa saya ndak paham, cuman bapak saya bilang tahun 1926 sudah ada. Saat membangun pesantren itu, KH Hasan Muhyi didampingi beberapa temanya sesama pelarian pasukan Diponegoro, yakni Ki Martojo, Ki Sanan Kemat, Mbah Awi, dan Mbah Mantari," kata Ustaz Nuruddin.
Dan pada tahun 1954, KH Hasan Muhyi memindah pesantrennya ke Kapurejo, Pagu, setelah sebelumnya mendapatkan wisik bahwa pesantren yang dibangunnya tersebut akan terkena lahar Gunung Kelud. Pemindahan akhirnya kejadian pada tahun 1964 atau tepat sepuluh tahun setelah mendapatkan petunjuk.
"Karena semua terlalap lahar dingin Gunung Kelud, akhirnya mushala itu dibangun permanen pada tahun yang sama dan pada perkembangannya sekitar tahun 1980 an mushala itu dibangun menjadi masjid hingga saat ini," kata Nurudin.