Wisata di Desa Nglanggeran tumbuh pesat, warga ogah jadi TKI lagi
Hadirnya Desa Wisata Nglanggeran, Gunung Kidul, mampu mengubah cara berpikir masyarakat sekitar, Gunungkidul. Kawasan Nglanggeran sejak 19 September 2015 lalu ditetapkan UNESCO sebagai Kawasan Global Geopark Network. Ini dimanfaatkan warganya untuk menjadi lahan untuk mencari nafkah sekaligus memperbaiki kualitas hidup
Hadirnya Desa Wisata Nglanggeran, Gunung Kidul, mampu mengubah cara berpikir masyarakat sekitar, Gunungkidul. Kawasan Nglanggeran sejak 19 September 2015 lalu ditetapkan UNESCO sebagai Kawasan Global Geopark Network. Ini dimanfaatkan warganya untuk menjadi lahan untuk mencari nafkah sekaligus memperbaiki kualitas hidup.
Sebelum Nglanggeran menjadi desa wisata, hampir seluruh warganya memilih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Negara Malaysia dan Korea Selatan menjadi tujuan utama warga Nglanggeran untuk mencari nafkah.
Berkembangnya Desa Wisata Nglanggeran, kini sebagian warga justru tak ingin lagi jadi TKI. Padahal biasanya mereka kerap berangkat ke Malaysia maupun Korea Selatan. Mereka lebih memilih untuk bersama-sama membangun desa wisata Gunung Api Purba Nglanggeran menjadi sumber ekonominya. Berbagai usaha dilakukan para warga, di antaranya mendirikan home stay dan membuka warung makan atau pusat oleh-oleh.
Sekretaris Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Nglanggeran, Sugeng Handoko menceritakan, dahulu berangkat keluar negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sempat menjadi primadona di Desanya. Sehingga mayoritas masyarakat mencari penghidupan dengan berangkat menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Sugeng menjelaskan bahwa ada perubahan trend di tahun 2013, seiring dikembangkannya desa wisata Nglanggeran. Selain itu, berubahnya paradigma berpikir warga juga karena adanya pendampingan dan edukasi dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Sehingga masyarakat tergerak untuk bersama-sama merintis desa wisata Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul.
"Mulai tidak berangkat lagi itu tahun 2013, 2014. Kita satu-satunya desa yang memiliki banyak TKI, yang dikoordinir untuk mengolah aset wisata di desa dan mereka memilih tidak berangkat lagi keluar negeri," tegas Sugeng saat ditemui merdeka.com, Kamis (1/12) kemarin.
Menurutnya, warga yang pernah menjadi TKI memilih tinggal dan mengembangkan desa wisata Nglanggeran dengan menyulap beberapa kamar di rumahnya menjadi Home Stay. Setidaknya ada dua sampai maksimal empat kamar tiap rumah yang mereka sewakan untuk menginap tamu berkunjung ke desa wisata Nglanggeran. "80 persen pemilik Home Stay pernah menjadi TKI," ungkapnya.
Menurut Sugeng, penghasilan bekerja di luar negeri menjadi TKI memang besar. Namun tenaga yang dikeluarkan juga besar selain itu mereka harus meninggalkan sanak saudara yang ada di rumah.
Warga lebih memilih tinggal dan mengembangkan desa wisata selain karena faktor ekonomi juga karena ada kepuasan batin. Warga bisa dekat dengan sanak keluarga dan masyarakat di desanya tetapi tetap mendapatkan penghasilan lewat mengelola pariwisata.
Meskipun demikian, Sugeng memaparkan bahwa hingga saat ini memang masih ada beberapa warga yang berada di luar negeri menjadi TKI. Namun mereka hanya menghabiskan masa kontrak serta niatnya untuk mencari modal. Setelah mendapatkan modal mereka akan kembali dan menginvestasikan dengan membangun rumah sekaligus digunakan untuk home stay atau membuka usaha lain di desa.
"Masih ada, tetapi mereka berangkatnya sudah dulu. Mereka cari modal untuk membangun usaha d irumah, setelah itu untuk kembali berangkat sangat kecil kemungkinannya, karena lebih enjoy di desa membangun usaha," pungkasnya.