Yenny Wahid Kutip Ucapan Gus Dur: DPR Seperti Taman Kanak-Kanak
Yenny Wahid turut menolak RUU Pilkada. Dia memprotes sikap DPR merevisi UU Pilkada lewat sebuah postingan di akun Instagram @yennywahid.
Penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada riuh di media sosial. Mayoritas masyarakat Indonesia menilai, RUU Pilkada menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Pilkada.
Putri Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid, Zannuba Ariffah Chafsoh atau akrab disapa Yenny Wahid turut menolak RUU Pilkada. Dia memprotes sikap DPR merevisi UU Pilkada lewat sebuah postingan di akun Instagram @yennywahid.
- Yenny Wahid Ungkap Isi Pembicaraan Bareng Puan Hingga Gibran di HUT TNI
- Tampilkan Foto Gus Dur, Yenny Wahid Sindir soal RUU Pilkada 'Kirain Sudah Lulus TK Ternyata Turun ke PAUD'
- VIDEO: Yenny Wahid Teriak Waspada Bansos Jelang Pemilu, Saat Penyaluran Sudah Disetop
- Yenny Wahid: Ganjar Mewarisi Semangat Gus Dur Mengayomi Kaum Terpinggirkan
Dalam postingannya, Yenny Wahid memperlihatkan gabungan foto Gus Dur dan dua bocah yang sedang bermain gebuk bantal. Kedua anak itu duduk berhadapan di atas batang pohon yang diletakkan melintang di atas sungai.
Foto Gus Dur tampak berada di atas, sementara kedua anak tersebut di bawah. Pada foto Gus Dur yang sedang menunjuk, Yenny Wahid membubuhkan tulisan 'Gus Dur: DPR seperti taman kanak-kanak'.
Sementara pada foto seorang anak di sebelah kiri, Yenny Wahid menuliskan 'Keputusan MK'. Bocah yang berada di sebelah kanan tertulis 'Baleg DPR. Sedangkan bantal yang digunakan bocah untuk menggebuk lawannya bertuliskan 'RUU Pilkada'.
"Baru saja menikmati secercah cahaya demokrasi, eh dihantam lagi. Kirain udah lulus TK, ternyata malah turun ke PAUD. Jadi rakyat memang harus sabar ketika penguasa sedang lupa diri," tulis Yenny Wahid menjelaskan maksud dari potongan foto Gus Dur dengan dua bocah yang sedang bermain gebuk bantal itu.
RUU Pilkada Upaya Pembegalan Demokrasi
Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Iluni FHUI) menentang keras revisi Undang-undang (UU) Pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Revisi ini dinilai sebagai praktik pembegalan demokrasi yang secara nyata dipertontonkan kepada publik.
Ketua Umum Iluni FHUI, Rapin Mudiardjo mengatakan, DPR dan Pemerintah tengah menampilkan pertunjukan akrobat dalam proses revisi UU Pilkada. Sebab, secara spontan bisa disepakati hanya dalam hitungan jam pasca Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.
"Menentang keras adanya praktik pembegalan demokrasi yang secara nyata-nyata dipertontonkan secara luas beberapa hari lalu," kata Rapin dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (22/8).
Rapin menjelaskan, dalam putusannya MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah.
Putusan MK, menetapkan persyaratan suara sah yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik berdasarkan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Putusan tersebut bertujuan memberikan kejelasan soal ambang batas suara sah dalam proses pencalonan kepala daerah.
Putusan MK juga mempertimbangkan bahwa syarat ambang batas perolehan suara sah untuk partai politik atau gabungan partai politik seharusnya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan syarat untuk calon perseorangan.
Oleh sebab itu, MK berpendapat bahwa persyaratan yang lebih tinggi untuk partai politik dapat dianggap tidak rasional dan tidak adil, mengingat calon perseorangan memiliki syarat yang lebih ringan.
Sayangnya, alih-alih mematuhi Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, tak lama berselang DPR dan Pemerintah justru melakukan pembahasan revisi UU Pilkada yang mengesampingkan isi dari putusan MK.
"Praktik ini merupakan ancaman serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum bagi Indonesia. Tindakan DPR dan Pemerintah yang mengesampingkan Putusan MK ini merupakan tindakan pembangkangan konstitusi," ungkap Rapin.
Rapin menyebut, langkah DPR menjadi preseden buruk yang merusak tatanan bernegara, seakan keberadaan Putusan MK yang berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), hanyalah secarik tulisan tanpa makna.
"Pengabaian Putusan MK ini jelas-jelas merupakan cerminan buruknya supremasi hukum di Indonesia. Tentunya, hal ini akan memiliki dampak yang sangat luas," kata dia.
Rapin menyampaikan, negara dengan supremasi hukum yang buruk tentunya akan mendapat stigma negatif secara global. Indonesia, kata dia berpotensi kehilangan reputasi baik di mata komunitas internasional dan membuat negara-negara lain enggan menjalin kerja sama di berbagai bidang.
"Termasuk di bidang ekonomi yang dibutuhkan untuk mendanai berbagai mega proyek yang dikejar oleh Pemerintah di bawah kendali Presiden Joko Widodo," ucap Rapin.
Selain itu, ujar Rapin, dampak lain dari lemahnya supremasi hukum juga akan dirasakan di berbagai lini. Pasalnya, kata dia ketidakpercayaan terhadap institusi hukum dapat menyebabkan disintegrasi sosial, meningkatnya kejahatan, dan keresahan di kalangan masyarakat.
Tak hanya itu, ketidakadilan yang terjadi secara berkelanjutan juga dapat memicu protes massal dan kerusuhan. Hal ini tentunya dapat mengancam ketertiban umum dan stabilitas nasional.
"Artinya, terlalu banyak yang dipertaruhkan dengan adanya proses pembegalan demokrasi ini. Hanya untuk melanggengkan kepentingan segelintir elit-elit politik di negara ini," ujarnya.
Atas pertimbangan tersebut, Iluni FHUI menyampaikan beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah, yakni sebagai berikut:
1. Menuntut DPR dan Pemerintah selaku penyusun revisi UU Pilkada, untuk mengedepankan materi dan norma yang terdapat dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024.
2. Mendesak DPR dan Pemerintah agar tidak lagi melanjutkan pembahasan revisi UU Pilkada yang dilaksanakan secara sembrono demi kepentingan politik golongan tertentu jelang Pilkada 2024.
3. Mengimbau agar seluruh lapisan masyarakat untuk terus mengawal proses revisi UU Pilkada agar selaras dengan norma-norma dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dengan tetap mengedepankan prinsip ketertiban umum.