Ambang batas: Hidup mati partai kecil
PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura mempertaruhkan masa depannya jika setuju ambang batas naik.
Ambang batas perwakilan atau parliamentary threshold adalah instrumen sistem pemilu yang paling nyata dampaknya. Partai yang tidak memenuhi ambang batas yang ditetapkan alias tidak lolos threshold, tidak dapat kursi. Apalah artinya ikut pemilu tapi tidak dapat kursi? Jadi partai yang sia-sia!
Kejamnya ambang batas bisa dilihat dari fakta ini. Pada Pemilu 1999, tanpa ketentuan ambang batas, 21 partai punya kursi DPR; pada Pemilu 2004, tanpa ketentuan ambang batas, 17 partai punya kursi di DPR. Tapi pada Pemilu 2009, dengan ketentuan ambang batas 2,5%, hanya 9 partai yang punya kursi di DPR. Lainya "ke laut", meski ada 38 peserta pemilu.
Dalam praktik pemilu di dunia, sesungguhnya banyak varian penerapan ambang batas. Namun di sini hanya varian besaran persentase perolehan suara yang dipakai. Pemilu lalu ditetapkan, ambang batas 2,5% untuk pemilu DPR. Itu artinya partai politik yang tidak meraih suara 2,5% atau lebih suara nasional (DPR), tidak berhak mendapatkan kursi DPR.
Beberapa partai jadi korban ketentuan ini, seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Kebangkitan Nahdlatul Umat (PKNU), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Kalau saja ambang batas 1%, partai-partai itu punya kursi di DPR, karena perolehan suara nasional mereka lebih dari 1%.
Karena ambang batas ini pembunuh partai paling efektif, maka partai-partai besar selalu menggunakan instrumen ambang batas, dengan dalih demi penyederhanaan sistem kepartaian. Padahal kepentingan mereka adalah meraih kursi lebih banyak dari kursi yang seharusnya didapat partai-partai lain seandainya tidak ada ketentuan ambang batas.
Maka tak heran jika PG dan PDIP mematok ambang batas 5% dan PD 4%. Partai-partai lain, atau partai-partai yang suka menyebut diri partai menengah, memilih mempertahankan angka 2,5%. Ya angka itu cukup aman, buktinya mereka bisa lolos. Mereka juga tidak mau turun, sebab hal itu berarti akan menambah pesaing memperebutkan kursi. Jadi, mental politik partai menengah itu sama dengan partai besar.
Jadi, omong kosong juga kalau partai politik menengah menggunakan dalih demi mempertahankan pluralisme politik. Lha kalau itu tujuannya, mengapa ambang batas tidak diturunkan? Katakanlah menjadi 1%, sehingga beberapa partai yang punya basis di daerah pemilihan tertentu, seperti PKNU di Jawa Timur dan PDS di Sulawesi Utara dan Papua, bisa masuk dalam DPR.
Sementara partai-partai besar yang ingin menaikkan ambang batas, menggunakan dalih penyederhanaan sistem kepartaian. Secara teoritik mereka sudah mendapatkan penjelasan dari buku-buku pemilu, bahwa menyederhanakan sistem kepartaiain di parlemen, itu tidak sama dengan mengurangi jumlah partai. Sebab, ukuran sederhana bukan ditentukan oleh jumlah partai, tapi bagaimana konsentrasi kursi terjadi.
Untuk masalah konsentrasi kursi ini, para ahli pemilu di dunia sepakat menggunakan rumus ENPP (efective number of parliamentary parties). Setelah dihitung-hitung, ENPP hasil Pemilu 1999 adalah 4,7; sementara hasil Pemilu 2009 dengan ambang batas 2,5% adalah 6,1. Itu artinya sistem kepartaian pada hasil Pemilu 1999 lebih sederhana daripada hasil Pemilu 2009.
Partai-partai besar bukannya tidak paham soal itu. Tetapi mereka mau gampangnya saja: naikkan ambang batas agar semakin sedikit partai masuk parlemen, sehingga kursi mereka bisa bertambah. Karena itu jika PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra dan Partai Hanura, berani menaikkan ambang batas lebih dari 2,5%, sungguh itu pertaruhan besar. Mereka bisa termakan oleh keputusan sendiri.