Batas politik identitas dan kewilayahan makin cair di Pilgub Jatim
Menurut Airlangga, mencairnya dikotomi politik identitas itu antara lain didorong masifnya penguatan wacana nasionalisme dan kebangsaan yang dilakukan pemerintah beberapa tahun terakhir ini.
Batas politik identitas dan kewilayahan di Jawa Timur dinilai semakin mencair, sehingga peta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) di provinsi tersebut bakal sangat berbeda dibanding 5-10 tahun silam. Direktur The Initiative Institute, Airlangga Pribadi PhD mengatakan, survei yang dilakukan pihaknya menghasilkan temuan bahwa beberapa pola politik lama telah mencair, seperti dikotomi santri dan nasionalis.
"Ternyata cukup banyak pemilih santri yang menjatuhkan preferensi politiknya ke PDIP, Gerindra, dan partai nasionalis lainnya. Demikian pula sebaliknya, basis nasionalis banyak yang berlabuh ke PKB, PPP, atau PAN yang mewakili politik Islam," ujar Airlangga.
Perubahan pola itu berimbas ke preferensi politik terhadap kandidat cagub maupun cawagub Jatim, di mana publik lebih menekankan aspek pengenalan dan kinerja ketimbang politik identitas.
"Wagub Jatim Saifullah Yusuf, Mensos Khofifah, dan Bupati Banyuwangi Azwar Anas yang notabene berlatar santri ternyata banyak dipilih segmen nasionalis. Sedangkan Bu Risma yang mewakili nasionalis cukup diminati santri dan kalangan politik Islam," kata dia.
Menurut Airlangga, mencairnya dikotomi politik identitas itu antara lain didorong masifnya penguatan wacana nasionalisme dan kebangsaan yang dilakukan pemerintah beberapa tahun terakhir ini. "Dikotomi menipis karena santri juga cinta tanah air, dan nasionalis di Indonesia ini hampir seluruhnya didasari unsur religi dan keyakinan," papar Airlangga.
Batas geografis politik antara wilayah 'Tapal Kuda' (Jatim bagian timur dan Madura), 'Mataraman' (Jatim bagian barat), dan 'Arek' (Surabaya sekitarnya serta Malang Raya) pun dinilai sudah mencair. Artinya, orang memilih tak lagi berdasarkan latar belakang wilayah.
"Sekarang borderless. Itu terbukti, Gus Ipul yang merupakan representasi Tapal Kuda ternyata kuat di Mataraman. Lalu Azwar Anas ternyata dapat nilai tinggi di Gresik, Madiun, Mojokerto, Kediri, dan Malang. Bu Risma yang wilayah Arek tinggi di Tapal Kuda dan Madura. Demikian pula Bu Khofifah merata hampir di seluruh wilayah," ujarnya.
Menurut dia, penetrasi media, pertumbuhan ekonomi, dan perubahan pola berpikir warga membuat batas-batas politik identitas dan kewilayahan semakin terkikis. "Masyarakat sekarang sudah beda dengan 5-10 tahun lalu. Ini harus dibaca para elite politik jika tak ingin salah langkah. Sekaligus ini positif karena yang dipertarungkan nanti program dan kinerja, bukan politik identitas dan kewilayahan," ujar dosen Fisip Universitas Airlangga itu.
Survei terbaru The Initiative Institute sendiri masih didominasi empat nama, yaitu Gus Ipul, Khofifah, Risma, dan Azwar Anas. Untuk popularitas, Khofifah berada di level 91,10 persen, Gus Ipul 88,40 persen, Risma 68,10 persen, dan Azwar Anas 14,80 persen.
Dari sisi elektabilitas cagub, Gus Ipul mendapatkan 44,6 persen, Khofifah 37,3 persen, Risma 18,1 persen, dan Anas 4,4 persen. Sedangkan elektabilitas cawagub, posisi tertinggi Anas sebesar 34,35 persen, lalu Musyaffa Noer dan Budi Sulistyo masing-masing 19 persen.
"Untuk cagub, jarak antara nomor satu dan dua hanya satu digit. Sedangkan di posisi cawagub, marjinnya cukup tebal, sampai tembus dua digit. Artinya, pertarungan cagub bakal sangat ketat, dan variabel cawagub cukup menentukan pemenang Pilgub Jatim mendatang," jelas Airlangga.
Survei digelar 15-30 Juni 2017 di 114 desa/kelurahan di 38 kabupaten/kota se-Jatim dengan responden 1140 orang pada tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error 3,2 persen.