Besaran daerah pemilihan: Paling menakutkan
Memperkecil besaran daerah pemilihan adalah cara paling efektif menyederhanakan sistem kepartaian di DPR.
Salah satu perbedaan pandangan partai-partai politik dalam pembahasan RUU Pemilu adalah soal alokasi kursi daerah pemilihan, atau dalam bahasa pemilu disebut besaran daerah pemilihan. Besaran daerah pemilihan adalah jumlah kursi yang disediakan di setiap daerah pemilihan.
Pada Pemilu 2009 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10/2008, besaran daerah pemilihan pemilu anggota DPR adalah 3-10 dan besaran daerah pemilihan pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota adalah 3-12. Itu artinya setiap daerah pemilihan disediakan kursi antara 3 sampai 10 atau 3 sampai 12, sesuai dengan jumlah penduduk masing-masing daerah pemilihan.
PG ingin memperkecil besaran daerah pemilihan menjadi 3-6 untuk DPR. PDIP semula juga seperti itu, tapi kemudian naik menjadi 3-8. Ini juga pilihan PD. PKS dalam hal ini agak fleksibel. Namun lima partai lainnya, yaitu PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura, ingin mempertahankan kursi 3-10. Kelima partai tersebut juga ingin mempertahankan kursi 3-12 untuk DPRD, sedangkan PG dan PDIP ingin diturunkan.
Jika semua partai sepakat bahwa perlu dilakukan penyederhanaan sistem kepartaian, maka menurunkan besaran daerah pemilihan adalah langkah yang paling tepat. Menyederhanakan sistem kepartaian menggunakan ambang batas terbukti gagal.
Mengapa? Gampang saja logikanya. Jika besaran daerah pemilihan adalah 6, maka maksimal partai yang dapat kursi ya 6. Padahal jarang dalam satu daerah pemilihan kursi tersebar merata, sehingga jumlah partai yang masuk bisa kurang dari 6. Jika diakumulasikan maka jumlah partai yang masuk ke parlemen bisa saja lebih dari 6, tetapi kursi akan terkonsentrasi ke sedikit partai, bisa-bisa cuma pada 3 partai. Jadinya parlemen jadi lebih sederhana.
Nah, oleh karena itu, pada titik ini partai-partai menengah kecil, seperti PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura, bersikukuh mempertahankan besaran dapil 3-10 untuk DPR dan 3-12 untuk DPRD. Sebab jika besaran diturunkan, mereka terancam tidak mendapatkan kursi, atau setidaknya jumlah totalnya berkurang.
Maka terjadilah kekacauan logika: ingin menyederhanakan sistem kepartaian, tetapi tidak mau memperkecil besaran dapil. Akibatnya fokus partai menengah ya, bagaimana agar kursinya tidak berkurang (karena mereka tidak percaya diri akan menjadi partai besar). Yang jadi sasaran adalah partai-partai kecil, dengan cara menolak penurunan ambang batas.
Yang aneh juga, partai besar, seperti PD, PG, dan PDIP tidak mau berkukuh pada usulannya, 3-6 atau 3-8 kursi. Mereka lebih percaya pada ambang batas, karena mereka mau gampangnya saja. Maunya menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen, yang terjadi hanyalah pengurangan jumlah partai. Mereka tidak memahami perbedaan itu, atau mereka tidak peduli. Sama saja hasilnya.