Demokrat: Pasal penghinaan presiden tak ada hubungannya dengan SBY
"Belum dibahas Komisi III. Siapa bilang ada ramai-ramai penolakan dari Komisi III, itu mungkin personal," kata Benny.
Wakil Ketua Komisi III Fraksi Demokrat, Benny Kabur Harman mengaku tidak tahu atas pasal pelecehan presiden yang dimasukkan dalam RUU KUHP. Benny menyatakan bahwa pasal itu tak ada hubungannya dengan pemerintahan sebelumnya.
"Kalau dia yang mengusulkan berarti dia setuju. Apa hubungannya sama SBY? Gak ada hubungannya itu," kata Benny saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Kamis (6/8).
Benny juga menegaskan bahwa sejauh ini tak ada perdebatan terkait pasal tersebut di Komisi III DPR. Dia menduga bahwa yang bermunculan merupakan pendapat secara personal saja.
"Belum dibahas Komisi III. Siapa bilang ada ramai-ramai penolakan dari Komisi III, itu mungkin personal. Lu baca berita dulu lah, gak ada isu itu. Gak ada ramai-ramai soal pasal itu, saya gak dengar," tuturnya.
Seperti diketahui tiga hari sebelumnya Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin menyatakan pasal yang telah dibatalkan oleh MK tak bisa diajukan atau dihidupkan kembali.
"Secara azas hukum yang berlaku segala Undang-Undang atau pasal yang telah dibatalkan oleh MK itu sudah tak bisa dibahas atau dihidupkan kembali dalam UU. Tapi itu biarlah nanti dibahas oleh raker dalam inventarisir masalah," kata Aziz di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (3/8).
Menurut Aziz, Menkum HAM Yasonna Laoly telah menyodorkan draf RUU KUHP pada rapat kerja dengan Komisi III. Dalam RUU KUHP memang benar ada permintaan untuk menghidupkan kembali pasal tersebut. Namun, dalam rapat tersebut, kata dia, Komisi III DPR hanya bersifat mendengarkan dan tidak membahas secara substansif dalam rapat tersebut.
"Pada saat raker dengan Menkum HAM, memang ada pasal itu (penghinaan kepada presiden). Teman-teman sekarang sedang dalam persiapan yang namanya inventarisir masalah. Ada beberapa pasal yang dimunculkan kembali sejak adanya putusan oleh MK, salah satunya pasal subtansi tentang penghinaan kepada presiden dalam RUU itu tapi kami belum membahas secara subtansi, hanya mendengar," jelasnya.
Politikus Golkar ini menolak secara tegas jika pemerintah ngotot ingin menghidupkan kembali pasal tersebut, karena putusan MK, kata dia bersifat final dan mengikat.
"Tidak bisa kerena negara ini kan negara hukum, putusan MK itu final dan mengikat. Jadi tak bisa dihidupkan kembali, kalaupun dihidupkan kembali akan langsung dibatalkan oleh MK," tegasnya.