Hattrick kalah di Sumut, Mega dan PDIP tak belajar dari Pilgub sebelumnya
Megawati (Ketua Umum PDIP) terlalu memaksakan kehendak memajukan kadernya untuk maju di Pilgub Sumut. Sementara elite parpol tidak dapat memberi informasi valid mengenai kondisi dan karakteristik warga Sumatera Utara, sehingga hasil yang dicapai tidak sesuai harapan.
Kandidat yang diusung PDIP pada Pilgub Sumut hampir dipastikan kembali menelan kekalahan. Tiga kali pelaksanaan Pilgub Sumut, PDIP harus menelan pil pahit.
Pada Pilkada Sumatera Utara 2018, PDIP mengusung Djarot Saiful Hidayat - Sihar Sitorus menghadapi jago PKS Edy Rahmayadi - Musa Rajekshah. Hasil hitung cepat beberapa lembaga menempatkan Edy-Musa sebagai pemenang. Data SMRC dengan data masuk 99,33 persen, Edy memperoleh 58,88 persen sedangkan Djarot 41,12 persen.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Kapan Pilkada serentak berikutnya di Indonesia? Indonesia juga kembali akan menggelar pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di tahun 2024. Pilkada 2024 akan dilasanakan ada 27 November 2024 untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.
-
Dimanakah letak Pulau Sumba yang menjadi jawaban dari tebak-tebakan 'kuda, berjenggot, luas, serba ada'? Ya, jawaban dari petunjuk kuda, berjenggot, luas, serba ada ini mengarah ke Pulau Sumba.
-
Mengapa Pilkada Serentak diadakan? Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan pemilihan, serta mengurangi biaya penyelenggaraan.
Mundur ke belakang, pada 2008, PKS bersama PBB, PPP dan 9 partai kecil mendukung duet Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho, sedangkan PDIP tunggal mengusung Tritamtomo-Benny Pasaribu. Hasilnya, Syamsul-Gatot meraih 1.396.892 suara atau 28,31 persen dari total 4.933.687 pemilih. Sementara Tritamtomo-Benny Pasaribu berada di posisi kedua dengan perolehan 1.070.303 suara atau 21,69 persen. Sisa suara dibagi tiga pasangan lainnya.
Pertarungan antara kubu PKS dan PDIP berlanjut pada Pilgub Sumut 2013. PKS bersama Hanura, PBR, Partai Patriot, dan PKNU mengusung pasangan Gatot Pujo Nugroho-T Erry Nuradi, sedangkan PDIP berkoalisi dengan PDS dan PPRN mendukung Effendi MS Simbolon-Djumiran Abdi. Duet yang diusung PKS pada Pilgub 2013 kembali menjungkalkan calon dari PDIP. Gatot-T Erry menang dengan perolehan suara terbanyak yakni 1.604.337 atau 33 persen dari 5.001.430 suara. Sementara Effendi-Djumiran berada di posisi dua dengan raihan 1.183.187 suara atau 24,34 persen. Sisa suara terbagi pada 3 pasangan lain.
Sejumlah hal harus menjadi bahan evaluasi partai jika tak ingin kejadian serupa berulang di masa akan datang. Pengamat politik dari Univesitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Arifin Saleh Siregar menilai kekalahan pasangan nomor urut 2, Djarot Saiful Hidayat - Sihar Sitorus (Djoss), yang diusung PDIP, tak terlepas dari kesalahan strategi dan keputusan partai.
"Megawati (Ketua Umum PDIP) terlalu memaksakan kehendak memajukan kadernya untuk maju di Pilgub Sumut. Sementara elite parpol tidak dapat memberi informasi valid mengenai kondisi dan karakteristik warga Sumatera Utara, sehingga hasil yang dicapai tidak sesuai harapan," kata Arifin.
Kalau elite PDIP benar-benar tahu dan mengerti karakter Sumut, hasilnya akan berbeda. PDIP tidak akan kalah 3 kali berturut-turut di daerah ini.
Pemilihan Djarot sebagai calon gubernur sebenarnya masih memungkinkan jika disokong pilihan calon wakil gubernur yang mampu mengangkat elektabilitasnya.
"Tapi ego parpol terlalu dikedepankan dengan memasangkan Djarot dengan Sihar," jelas Arifin yang juga Dekan FISIP UMSU.
Seharusnya, PDIP belajar dari dua kekalahan di Pilgub Sumut sebelumnya. Dua tokoh yang mereka usung sebagai calon gubernur, Tritamtomo dan Effendi MS Simbolon, cukup ternama tapi bukan warga Sumut. Sementara calon wakil gubernur yang dipilih, Benny Pasaribu dan Djumiran Abdi, tak punya elektabilitas yang mumpuni untuk mengangkat suara pasangan itu.
Pada Pilgub 2018, pemilihan Sihar Sitorus sebagai calon wakil gubernur, justru membuahkan persoalan, memperkuat politik identitas. Masyarakat terbelah, dan pasangan diusung PDIP mendapat bagian yang lebih kecil.
"Apalagi mereka muncul di saat momentum tidak pas, di saat semangat keumatan tengah menggebu-gebu," sebut Arifin.
Terlepas dari apa pun hasilnya, Pilgub Sumut telah memberi pemahaman ke publik bahwa politik identitas tidak selamanya membahayakan. Bahkan ada dampak positif yang muncul. Pemilih jadi melek politik. Warga yang selama ini abai atau mengabaikan menjadi peduli. Mereka mempelajari informasi pribadi dan rekam jejak calon, membahas isu, memperbincangkan, memperdebatkan, lalu ikut mencoblos.
"Ternyata tidak seperti yang dikhawatirkan selama ini. Tidak ada konflik seperti yang ditakutkan. Sekarang kedua kubu sudah duduk bersama dan tertawa-tawa," ucap Arifin.
Untuk pasangan nomor urut 1, Edy Rahmayadi - Musa Rajekshah, yang unggul telak pada hitung cepat, ada tugas berat yang menunggu mereka. Jargon mereka membuat Sumut Bermartabat bukanlah hal yang mudah diwujudkan.
Selain itu, pasangan ini harus sesegera mungkin menyatukan dua pihak yang terbelah pada Pilgub Sumut. Pernyataan pasangan ini yang menyatakan akan merangkul semua pihak harus diwujudkan menjadi kenyataan.
"Harus merangkul pihak lawan. Kalau tidak bisa dirangkul, tempatkan sebagai oposisi yang selalu siap mengkritik jika pasangan ini melakukan kesalahan. Mereka bisa jadi pengontrol kekuasaan," tegas Arifin.
Berdasarkan hitung cepat, pasangan nomor urut 1, Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah, unggul telak dari pasangan nomor urut 2, Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus. Namun hasil quick count itu belum dapat dijadikan dasar kemenangan pasangan calon. Mereka masih harus menunggu penghitungan manual dan rapat pleno KPU.
Baca juga:
PDIP keok oleh 2 jenderal purnawirawan TNI di Pilgub Sumatera
Pidato Gatot Nurmantyo disebut berdampak positif buat Edy-Ijeck di Pilgub Sumut
Hattrick, PDIP kalah di Jatim, Jabar dan Sumut
Kalah dari Edy-Ijeck, Djarot tunggu 'real count' KPU
Djarot Saiful Hidayat, kalah di Jakarta tumbang di Sumatera Utara
Jagoan-jagoan PDIP yang kalah versi hitung cepat di Pilkada 2018