Ini isi naskah akademik revisi UU KPK soal penyadapan diperketat
Pasal ini dibuat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang KPK dalam penyadapan.
Dalam revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur tentang pengetatan penyadapan yang kerap dilakukan lembaga antikorupsi itu. Nantinya, KPK tidak bisa sembarang menyadap orang terduga melakukan tindak pidana korupsi sebelum mendapatkan izin dari ketua pengadilan.
Dalam naskah akademik revisi UU KPK yang diusulkan oleh PDIP Cs, yang diterima merdeka.com, Selasa (13/10), di sana dijabarkan bagaimana ketentuan penyadapan KPK nantinya. Hal ini dilakukan agar KPK tidak menyalahgunakan kewenangan dalam melakukan penyadapan.
"Penyadapan itu perampasan kemerdekaan. UU mengatur secara tegas, jangan sampai hak orang terlanggar, kalau sudah terindikasi ada pendahuluan, dilaporkan kepada hakim. Di negara manapun juga begitu, kalau niatnya sudah suci, Tuhan pasti ngasih jalan," jelas anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan kepada merdeka.com, Selasa (13/10).
Arteria juga menjelaskan, jika KPK khawatir ketua pengadilan juga terindikasi korupsi, maka bisa minta izin ke pengadilan tinggi. Begitu selanjutnya hingga tingkat mahkamah agung.
"Ketua pengadilan juga terindikasi, kita lambung ke ketua pengadilan tinggi. Sehingga seluruh stake holder terawasi, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan," pungkasnya.
Berikut isi naskah akademik revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK terkait penyadapan, halaman 51:
1. Kewenangan Penyadapan
Dalam Pasal 12 ayat (1) butir a UU KPK diatur bahwa: Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Kewenangan penyadapan KPK dalam pasal 12 ayat (1) butir a tersebut perlu diatur agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam pelaksanaannya. Pengaturannya adalah bahwapenyadapan harus ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Pelaksanaan penyadapan yang hanya bisa dilakukan setelah adanya izin pengadilan ini diperlukan
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan penyadapan oleh KPK. Yaitu penyadapan dilakukan terhadap pihak-pihak yang belum dilakukan proses pro justitia, yaitu proses penyidikan.
Hal-hal yang perlu diatur dalam pelaksanaan penyadapan oleh KPK, antara lain:
- Penyadapan dapat dilakukan KPK setelah adanya bukti permulaan yang cukup, dilaksanakan oleh penyidik KPK, dan mendapat persetujuan pimpinan KPK.
- Sebelum melakukan penyadapan pimpinan KPK ahrus meminta izin tertulis terlebih dulu dari ketua pengadilan negeri.
- KPK dapat menyadap sebelum mendapat izin dari ketua pengadilan negeri asalkan dalam keadaan mendesak. Namun, setelah melakukan penyadapan, pimpinan KPK harus meminta izin tertulis dari ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 1 x 24 jam setelah dimulainya penyadapan.
- Perlu diatur pula, semua penyadapan harus dilaporkan kepada pimpinan KPK setiap bulan. Penyadapan dapat dilakukan paling lama tiga bulan sejak keluarnya izin dari ketua pengadilan negeri.
- Izin penyadapan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu yang sama. Pengaturan lain, penyadapan harus dipertanggungjawabkan kepada pimpinan KPK paling lambat 14 hari setelah penyadapan.
- Perlu diatur mengenai ijin untuk melakukan penyadapan dan pembicaraan seperti apa yang dapat direkam. Bahwa, beberapa kali ditemui pembicaraan pribadi seorang tersangka dapat tersiar ke umum, sehingga membuat kondisi psikologis tersangka menjadi down.
Pengaturan kewenangan penyadapan oleh KPK harus dengan izin pengadilan ini sesuai dengan pengaturan dalam draft RUU KUHAP, bahwa untuk melakukan penyadapan harus atas izin pengadilan.