Ini kisah sukses Jokowi di Solo
Bermula dari penertiban pedagang kaki lima. Sukses tanpa kekerasan.
Dukungan kepada capres dan cawapres Jokowi - JK terus mengalir di berbagai daerah termasuk diantaranya diserukan oleh warga Nahdlatul Ulama (NU) se-Eks Karesidenan Surakarta.
Usai menghadiri kegiatan pelantikan NU Kota Solo di Balai Kota Solo, Ketua PCNU Solo Hilmi Ahmad Sakdillah yang mewakili segenap warga NU, menyatakan dukungannya kepada pasangan capres-cawapres, Joko Widodo - Jusuf Kalla (Jokowi - JK).
Hilmi mengatakan dukungannya terhadap pasangan Jokowi - JK dilakukan karena Jokowi semasa menjabat sebagai Walikota Solo telah berhasil mengubah Solo menjadi kota yang bersih.
Dengan slogan "Berseri Tanpa Korupsi" Jokowi mampu menciptakan sistem pemerintahan Solo terhindar dari praktik korupsi. "Bahkan, dengan program yang dilakukan Jokowi dapat dinikmati semua warga Solo sekitarnya termasuk warga NU," katanya di Solo, Minggu 8 Juni 2014.
Prestasi Jokowi di Solo memang tidak meragukan lagi. Dalam konteks Pilpres, Fadli Zon, tim sukses Prabowo - Hatta dalam sebuah diskusi Mata Najwa di Metro TV, Rabu 28 Mei 2014, menyebutkan bahwa Jokowi gagal di Solo. Salah satunya karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Solo selama kepemimpinan Jokowi terus menurun.
Faktanya, selama kurun waktu 2005-2012, PAD Solo terus naik. Menurut data BPS Jawa Tengah , pada tahun 2009 PAD Solo Rp 101 miliar dan naik menjadi Rp 181 miliar pada 2011. Oleh karena itu dalam Pilkada Walikota Solo, Jokowi mendapat suara 90 persen lebih dari rakyat Solo walau tanpa kampanye.
Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Dengan menerapkan branding "Solo: The Spirit of Java", Jokowi mampu mendongkrak prestasi Kota Solo.
Namun langkah yang tergolong fenomenal yang pernah Jokowi lakukan adalah dalam hal merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka. Jokowi melakukan komunikasi langsung secara rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) kepada masyarakat, khususnya kepada para PKL.
Berawal pada tahun 2005 ketika Jokowi, yang baru dilantik menjadi Walikota Solo, membentuk sebuah tim kecil untuk mensurvei keinginan warga Kota Solo. Dari hasil survei ditemukan bahwa kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota disingkirkan.
Jokowi memang sudah mempunyai program untuk menjadikan Solo layaknya Singapura, sebuah kota yang bersinar dengan wisata belanjanya. Karena itu ketertiban, kebersihan dan keindahan kota menjadi kunci utama. Namun hasil survei tersebut membuat Jokowi menghadapi dilema. Di satu sisi dia merupakan seorang Walikota baru yang tidak ingin memancing konflik dengan para PKL di awal masa kepemimpinannya. Namun di sisi lain dia tidak dapat menutup mata untuk merespons keinginan sebagian masyarakat Solo yang ingin para PKL dipindahkan dari jalan-jalan dan taman.
Jokowi kemudian memutuskan bahwa para PKL itu harus direlokasi. Namun dengan cara yang strategis dan hati-hati. Tiga Walikota sebelumnya terbukti tidak mampu melakukan relokasi. Para pedagang kaki lima mengancam akan membakar kantor Walikota jika mereka digusur. Di Solo, ancaman bakar bukan sekedar "gertak sambal". Sejak dibangun, kantor Walikota Solo sudah dua kali dibakar, yakni pada tahun 1998 dan 1999. Secara kultural, memang masyarakat Solo dikenal sebagai masyarakat yang lembut dan santun. Namun diakui juga bahwa masyarakat Solo sangat mudah terbakar emosinya.
Sebagai pengusaha mebel selama 18 tahun, Jokowi memiliki pengalaman dalam melakukan lobi dan negosiasi bisnis yang disebutnya "lobi meja makan". Strategi ini kemudian dilakukan sebagai bentuk komunikasi politiknya. Targetnya sudah jelas, yakni para PKL di daerah Banjarsari, kawasan elite di Solo.
Di sana, terdapat 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban. Kemudian Jokowi mengundang dan mengajak makan para koordinator paguyuban di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota. Namun pada pertemuan pertama ini tidak ada pembicaraan mengenai relokasi. Jokowi sama sekali tidak menyinggungnya. Dia beranggapan, hal itu belum waktunya disampaikan.
Makan bersama seperti itu berlanjut hingga pertemuan yang ke 53, di mana Jokowi hanya makan bersama dan bersilaturahmi kepada para PKL. Baru pada jamuan ke-54, di mana saat itu semua PKL yang hendak dipindahkan hadir, Jokowi mengutarakan niatnya untuk merelokasi mereka.
Ketika Jokowi mengungkapkan hal itu, tidak ada satu pedagang pun yang menolak. Mereka setuju dengan kebijakan yang diambil Jokowi sepanjang mereka mendapatkan tempat yang baru untuk berdagang. Jokowi berjanji akan memberikan lokasi baru. Dan nantinya, para pedagang hanya akan membayar biaya retribusi sebesar Rp 2.600 perhari di tempat baru yang suasananya lebih bagus dari tempat para PKL berdagang sekarang.
Dengan retribusi sebesar itu, modal pemerintah sebesar Rp 9,8 miliar untuk membangun lokasi baru itu diperkirakan dapat kembali pada kurun 9 tahun. Bukan hanya itu, Jokowi juga akan mempromosikan tempat berdagang baru itu selama empat bulan di media lokal. Jokowi juga memperluas jalan menuju pasar dan membuat satu trayek angkutan kota baru. Hasilnya, Jokowi berhasil menata ulang pasar di antaranya Pasar Klitikan Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan malam Langen Bogan, serta pasar malam Ngarsapura.
Saat relokasi dilakukan, Jokowi menggelar arak-arakan sepanjang jalan menuju Pasar Klitikan dengan iringan musik “kleningan” khas Solo. Jokowi juga menghadirkan Prajurit Keraton agar timbul rasa kebanggaan pada diri para PKL. Faktanya, para PKL sangat legowo saat pindah lokasi ke tempat yang baru. Bahkan konsumsi dan perlengkapan arak-arakan mereka biayai sendiri. Ini jarang terjadi di daerah lain yang biasanya relokasi selalu bersinggungan dengan kekerasan. Sebanyak 989 PKL dipindah tanpa gejolak, bahkan secara antusias para PKL itu mendukung program pemerintah dengan suka cita. Ini merupakan sebuah terobosan yang mengagumkan.
Dalam salah satu wawancara dengan media lokal, Jokowi menyatakan bahwa para PKL itu bersedia pindah bukan karena mereka sudah diajak makan, namun karena para PKL itu merasa “dimanusiakan” oleh pemimpinnya. (skj)