Istana: Negara Tidak Pernah Membungkam Suara Kritis Masyarakat
Tenaga Ahli Kedeputian Kantor Staf Kepresidenan Donny Gahral Adian menegaskan negara tidak pernah membungkam suara kritis masyarakat.
Survei Lembaga Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei mengenai kondisi demokrasi di Indonesia. Salah satu variabelnya adalah kebebasan berpendapat. Namun, hasil survei menyebutkan 76,6 persen warga makin takut menyuarakan pendapat.
Tenaga Ahli Kedeputian Kantor Staf Kepresidenan Donny Gahral Adian menegaskan negara tidak pernah membungkam suara kritis masyarakat.
-
Kapan survei Indikator Politik Indonesia dilakukan? Survei tersebut melibatkan 810 responden dengan metode simple random sampling dan margin of error sekitar 3,5 persen.
-
Apa tujuan dari survei Poltracking Indonesia? Tujuan survei untuk mengukur sejauh mana efektivitas langkah para kandidat dalam meningkatkan elektabilitasnya, serta sejauh mana pengaruh faktor eksternal di luar kandidat dapat mempengaruhi peta elektoral terkini.
-
Bagaimana cara Utting Research melakukan survei? Survei tersebut dilakukan menggunakan metode multi stage random sampling, dengan margin of error sebesar 2,8 persen pada tingkat kepercayaan mencapai 95 persen.
-
Kapan Survei Poltracking Indonesia tentang elektabilitas pasangan capres-cawapres dilakukan? Survei ini diselenggarakan Poltracking Indonesia mulai tanggal 29 Oktober hingga 5 November 2023.
-
Bagaimana metode pengambilan data yang digunakan dalam survei Poltracking Indonesia? Survei dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan data melalui wawancara tatap muka langsung dengan responden terpilih (face to face interview) kepada 1.220 responden, menggunakan metode acak bertingkat (multistage random sampling).
-
Bagaimana metode yang digunakan dalam survei Indikator untuk mengukur elektabilitas pasangan calon presiden dan wakil presiden? Survei dilakukan dengan wawancara responden menggunakan telepon pada 23-24 Desember 2023. Pewawancaranya terlatih dan profesional. Target populasi WNI berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah dan memiliki telepon/handphone, sekitar 83 persen dari populasi nasional. Sampel sebanyak 1.217 responden dipilih melalui kombinasi random digital dialling (RDD) (265 responden) dan double sampling (952 responden).
"Jadi orang khawatir untuk menyampaikan pendapat itu alasannya banyak, bukan negara dan negara tidak pernah membungkam suara kritis," kata Donny saat dihubungi merdeka.com, Senin (26/10).
Menurutnya, pemerintah tidak pernah mempermasalahkan komentar negatif di media sosial. Dia mengatakan, pemerintah tidak pernah melaporkan ujaran kebencian atau provokasi. Justru pelaporan dilakukan oleh masyarakat. Donny melihat, kebanyakan yang terjerat kasus lantaran melanggar UU ITE.
"Jadi negara menghormati kebebasan berpendapat sejauh memang masih dilakukan dalam koridor hukum yang berlaku, demokrasi tetap tidak boleh kebablasan atau menabrak rambu-rambu hukum yang ada," lanjut Donny.
Sebelumnya diketahui Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, pihaknya menanyakan setuju tidaknya responden dengan adanya pernyataan bahwa warga makin takut dalam menyatakan pendapat.
"Hasilnya 21,9 persen sangat setuju; 47,7 persen agak setuju, 22 persen kurang setuju; dan 3,6 persen tidak setuju sama sekali," tutur Burhanuddin saat diskusi virtual, Minggu (25/10).
Jerat UU ITE
Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi di Indonesia disebabkan adanya penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik berlebihan (UU ITE). Belakangan aparat penegak hukum dalam hal ini Polri, selalu menggunakan UU ITE yang sarat dengan kontroversi.
"Kebebasan sipil juga termasuk menyampaikan pandangan lewat media, yakni kawan-kawan media atau jurnalis yang juga mengalami banyak soal hambatan. Termasuk dihantui oleh sikap aparat yang kelihatannya dengan pandemi ini menggunakan UU ITE berlebihan," tutur Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan dalam diskusi virtual, Minggu (25/10).
"Saking terbiasanya kita, bahkan di media pun hanya tulis UU ITE tanpa kepanjangannya. Seakan-akan ya memang untuk tangkap-tangkap saja itu soal hoaks dan lain-lain," lanjutnya.
Hinca menerangkan, UU ITE awalnya dibuat untuk mengatasi jaringan terorisme. Ada banyak upaya transfer uang terkait aktivitas kelompok teror melalui mekanisme transaksi elektronik.
"Belakangan pembahasan Undang-Undang di DPR dari transaksi elektronik berubah ditambah depannya informasi. Informasi tentang transaksi elektronik dan kemudian seolah-olah dibacanya jadi transaksi elektronik tentang informasi," jelas dia.
(mdk/noe)