Memahami perilaku partai dalam pembahasan RUU Pemilu
Jangankan orang awam, tidak semua politisi paham materi perdebatan. Pengamat politik juga bikin bingung.
DPR gagal mengesahkan RUU Pemilu. Sidang paripurna yang berlangsung hingga tengah malam, Rabu (11/4) kemarin belum menghasilkan kesepakatan. FPG dan FPDIP walkout meninggalkan lobi. Hari ini sidang dilanjutkan. Kemungkinan dilakukan voting.
Perbedaan pandangan di antara partai-partai sesungguhnya sudah lama diketahui. Masing-masing partai bersikukuh dengan pendapatnya terhadap empat isu krusial: ambang batas perwakilan atau parliamentary threshold, alokasi kursi di daerah pemilihan, sistem pemilu dan formula penghitungan kursi.
Perbedaan pandangan mereka sesungguhnya sulit dipahami, karena ini menyangkut pengaturan instrumen teknis sistem pemilu. Argumentasi mereka tak hanya membosankan, tapi juga membingungkan. Jangankan orang awam, banyak politisi yang juga tak paham.
Alih-alih menjelaskan perilaku partai politik, beberapa pengamat politik juga ikut muter-muter dalam menjelaskan duduk perkara perdebatan ini. Sejumlah pengamat gagap. Teks book yang mereka baca, gagal menerawang perilaku mereka. Akhirnya, mereka kembali ke penilaian moral: seharusnya ini, seharusnya itu!
Inti semua perbedaan itu sesungguhnya adalah kepentingan masing-masing partai. Partai besar ingin tambah besar, partai menengah ingin bertahan, partai kecil tidak mau mati. Jadi ini soal hidup mati mereka, karena eksistensi partai memang tergantung hasil pemilu.
Meskipun demikian beberapa teks book pemilu gagal untuk menerawang perilaku mereka dalam pembahasan RUU pemilu kali ini. Misalnya, dalam ilmu pemilu berlaku rumus seperti ini: partai besar dirugikan jika menggunakan formula kuota murni dalam menghitung perolehan kursi. Pertanyaannya, mengapa PD menyetujui kuota murni?
Sebagain orang menduga, ini adalah bentuk solidaritas PD dalam menjaga koalisi, karena mitra koalisi PD, yakni PAN, PPP dan PKB menginginkan formula kuota murni. Lagi pula selama ini tiga partai itu yang selalu loyal sama PD, dibandingkan PKS dan PG. Makanya, PD mendukung mereka dalam pemilihan kuota murni.
Benarkah demikian? Kita akan terkecoh jika mempercayainya. Sebab jika ditelisik atas hasil Pemilu 2009, jika PD mendapatkan kursi tiga kursi dari suatu daerah pemilihan, maka kursi ketiga itu didapat dari keberuntungan akibat penggunaan formula kuota. Jadi, pada Pemilu 2009 PD memang diuntungkan oleh formula kuota. Makanya dia mempertahankannya.
Itu salah satu contoh. Sambil menunggu jalannya sidang paripurna, yang kemungkinan akan dilakukan voting, tulisan berikutnya akan menjelaskan beberapa hal, yang semoga saja kita bisa lebih memahami perilaku mereka dalam pembahasan RUU Pemilu.