Pelaksanaan Pemilu 1955 Bertujuan untuk Dua Hal, Simak Penjelasannya
Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang diselenggarakan di Indonesia.
Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang diselenggarakan di Indonesia.
Pelaksanaan Pemilu 1955 Bertujuan untuk Dua Hal, Simak Penjelasannya
Pelaksaan Pemilu pada tahun 1955 silam merupakan bagian besar dalam sejarah demokrasi Indonesia. Pasalnya, ini adalah pemilu paling pertama yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan. Tujuan Pemilu 1955 berkaitan dengan pemilihan anggota legislatif dalam pemerintahan.
Pemilu 1955 sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Pelaksanaan Pemilu 1955 memiliki peran penting dalam pembentukan pemerintahan. Pemilu ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif sebab beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosoewirjo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga ikut memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman. Pemilu 1955 menjadi awal perjalanan demokrasi di Indonesia. Pemilu 1955 bahkan menjadi pemilu dengan tingkat partisipasi yang tinggi. Pelaksanaan Pemilu 1955 dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.
Berikut selengkapnya mengenai penjelasan tujuan Pemilu 1955, pelaksanaan, dan hasilnya yang merdeka.com rangkum dari berbagai sumber.
Latar Belakang Pelaksanaan Pemilu 1955
Pemilu pertama awalnya direncanakan berlangsung pada Januari 1946. Namun karena Revolusi Nasional Indonesia masih berlangsung, hal tersebut menjadi tidak memungkinkan.Setelah perang, setiap kabinet memasukkan pemilihan umum dalam programnya. Pada bulan Februari 1951 kabinet Natsir memperkenalkan RUU pemilu, tetapi kabinet ini jatuh sebelum diperdebatkan dalam parlemen.
Kabinet berikutnya, yang dipimpin oleh Sukiman berhasil mengadakan beberapa pemilihan regional. Akhirnya, pada bulan Februari 1952, kabinet Wilopo memperkenalkan RUU untuk pendaftaran pemilih.
Diskusi di Dewan Perwakilan Rakyat tidak dimulai sampai September karena berbagai keberatan dari partai politik. Menurut Feith, ada tiga faktor penyebab hal ini terjadi.
Pertama, para legislator khawatir kehilangan kursi mereka; kedua, mereka khawatir tentang kemungkinan ayunan untuk partai-partai Islam; dan ketiga, sistem pemilihan sesuai dengan Konstitusi Sementara tahun 1950 sehingga akan berarti lebih sedikit perwakilan untuk daerah di luar Jawa. Mengingat kenyataan bahwa kabinet itu jatuh setelah memperkenalkan langkah-langkah kontroversial, ada keengganan untuk memperkenalkan RUU pemilu dan ada kekhawatiran tentang kemungkinan konflik politik yang disebabkan oleh pemilihan.
Meskipun demikian, banyak pemimpin politik menginginkan pemilihan umum karena legislatif yang ada pada saat itu didasarkan pada kompromi dengan Belanda (yang sebelumnya merupakan kekuasaan kolonial) dan karena itu dianggap memiliki sedikit otoritas rakyat. Mereka juga percaya bahwa pemilu akan membawa stabilitas politik yang lebih besar. Hal ini semakin diperkuat oleh “Peristiwa 17 Oktober 1952”, ketika tentara bersenjata di depan istana menuntut pembubaran badan legislatif, menyebabkan tuntutan yang lebih besar dari semua pihak untuk pemilihan awal.
Pada 25 November, RUU Pemilu telah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah 18 minggu perdebatan dan 200 usulan amandemen, RUU tersebut akhirnya disahkan pada 1 April 1953 dan menjadi hukum pada 4 April. RUU ini menetapkan jumlah keanggotaan legislatif di mana satu anggota legislatif untuk 150.000 penduduk dan memberikan hak untuk memilih bagi semua orang yang berusia di atas 18 tahun, atau yang pernah atau sudah menikah. Begitu RUU itu disahkan, kabinet mulai menunjuk anggota Komite Pemilihan Pusat.
Hal ini dilakukan untuk memiliki satu anggota dari setiap partai pemerintah dan ketua independen. Namun, Partai Nasional Indonesia (PNI) memprotes bahwa mereka tidak memiliki anggota dalam komite, dan perselisihan ini masih belum terselesaikan ketika kabinet itu jatuh pada 2 Juni. Pada tanggal 25 Agustus 1953, perdana menteri baru, Ali Sastroamidjojo, mengumumkan jadwal persiapan untuk pemilihan selama 16 bulan mulai bulan Januari 1954.
Pada tanggal 4 November, pemerintah mengumumkan Komite Pemilihan Pusat baru yang diketuai oleh anggota PNI S. Hadikusomo dan termasuk semua partai yang diwakili di pemerintahan yaitu; Nahdatul Ulama (NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) Partai Rakyat Indonesia (PRI), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Buruh dan Barisan Tani Indonesia (BTI), serta beberapa partai pendukung pemerintah, seperti Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Tujuan Pemilu 1955
Pelaksanaan pemilu 1955 bertujuan untuk dua hal. Pertama tujuan Pemilu 1955 adalah untuk memilih anggota DPR. Tujuan Pemilu 1955 kedua adalah untuk memilih anggota Konstituante.Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
Sementara Konstituante adalah adalah sebuah dewan perwakilan yang bertugas untuk membentuk konstitusi baru bagi Republik Indonesia untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dewan ini bersidang di Bandung antara bulan November 1956 hingga dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat sebuah dekret presiden pada tanggal 5 Juli 1959.
Pemilu 1955 dilakukan dua kali berdasarkan subjek yang dipilih. Puncak pemilu 1955 jatuh pada 29 September 1955 dan 15 Desember 1955. Pada saat itu, masyarakat Indonesia tumpah ruah di bilik pencoblosan untuk menyalurkan hak pilihnya.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, dan kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Pemungutan suara anggota DPR dilaksanakan pada 29 September 1955. Pada tanggal ini sebagian besar rakyat Indonesia menyalurkan suaranya. Sementara sebagian kecil lainnya, yang merupakan masyarakat pulau Bali yang sedang merayakan Galungan, melaksanakan pemilu pada dua hari kemudian. Sementara pemungutan suara anggota Konstituante secara umum dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Di beberapa daerah, pemilu Konstituante sempat tertunda beberapa hari.
Sebanyak 87,65% pemilih memberikan suara sah dan 91,54% memberikan suara. Dengan mengesampingkan jumlah kematian antara pendaftaran dan pemungutan suara, hanya sekitar 6% yang tidak memilih. Peserta Pemilu 1955 tidak hanya berasal dari partai politik, melainkan juga organisasi massa dan calon perorangan. Pemilihan anggota DPR diikuti oleh 36 partai, 34 organisasi massa, dan 48 calon perorangan. Kontestan ini memperebutkan 260 kursi di DPR.
Sementara pemilihan anggota Konstituante diikuti oleh 39 partai politik, 23 organisasi massa, dan 29 calon perorangan. Kontestan pemilihan anggota Konstituante ini memperebutkan 520 kursi Konstituante. Para peserta pemilu mulai bisa mengajukan nama-nama calon anggota DPR dan Konstituante pada Desember 1954.
Hasil Pemilu 1955
Perolehan suara Pemilu 1955 untuk anggota DPR diumumkan secara resmi oleh Panitia Pemilihan Umum (PPI) pada 1 Marer 1956. Jumlah suara yang berhasil dihimpun dalam pemilihan DPR sebanyak 37.785.299 dan 37.837.105 untuk pemilihan Konstituante.Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3%), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9%), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4%), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4%), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89%). Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya. Ini karena pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekret Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945. Kemudian pada 4 Juni 1960, Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah.
Presiden Soekarno secara sepihak melalui Dekret 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.