Menebak langkah PDIP incar posisi ketua DPR lewat isu Trump
Kritikan pedas dari anggota DPR kepada pimpinan parlemen terus berdatangan, terutama dari PDIP.
Kemunculan pimpinan DPR Setya Novanto dan Fadli Zon serta di jumpa pers bakal calon presiden Amerika Serikat Donald Trump berbuntut panjang. Kritikan pedas dari anggota DPR terus berdatangan, terutama dari PDIP.
Fraksi PDIP pun melaporkan Setya dan Fadli ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). MKD akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR yang menghadiri kampanye bakal calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Anggota MKD dari Fraksi Hanura Syarifuddin Sudding menyatakan keputusan yang diambil seusai melakukan rapat internal itu diputuskan diambil tanpa pelaporan.
"Proses yang ada di MKD ini ada dua yaitu pengaduan dan tanpa pengaduan. Kami di rapat ini sudah memutuskan ini akan ditindaklanjuti tanpa pengaduan," kata Sudding usai rapat internal MKD, Senin (7/9).
Getolnya PDIP menggoyang pimpinan DPR disebut-sebut sebagai upaya partai berlambang banteng moncong putih itu mengincar kursi pucuk parlemen. Mungkinkah langkah PDIP terlihat seperti itu?
Pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing melihat bisa saja langkah yang dilakukan PDIP merupakan langkah mereka mengincar posisi ketua DPR.
"Namanya politik itu diartikan memperluas kekuasaan. Seperti yang dikatakan teori Machiavelli, figur utama dalam realitas teori politik. Dia mengatakan bahwa menghalalkan segala cara untuk kekuasaan, jadi kepentingan seperti bisa terjadi menurut saya," Kata Emrus saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (8/9).
Emrus menjelaskan, untuk hal itu bisa saja terjadi di ranah politik. Hal itu lantaran bagaimana pun orang yang berkecimpung di bidang kekuasaan, dia akan dengan sigap mengolah semua info, kekuatan, peristiwa dan segala yang bersangkutan untuk kekuasaan.
"Itu hal yang wajar saja untuk seorang politisi. Politik ini ibarat bunglon, dia bisa berubah-ubah. Karena kepentingan ini bukan lagi persaingan publik, tapi persaingan diri sendiri. Tapi sebetulnya saya heran, teman-teman DPR yang mengadukan mereka (Setya dan Fadli) ke MKD itu atas dasar apa? Basis mereka itu apa? Saya tidak bisa memahami mereka. Mereka menganggap itu melanggar etika dan sebagainya. Tapi mereka tidak menjelaskan detail etika mana yang dilanggar," jelasnya.
Emrus menjelaskan, mengenai laporan tersebut terus terang dirinya berbeda pandangan. Menurutnya, sepanjang mereka tidak melakukan hal-hal yang bersifat amoral, merugikan negara atau korupsi, apa salahnya mereka menghadiri acara tersebut.
"Malah kedatangan mereka menurut saya itu hal yang positif. Karena kan tidak sembarangan presiden mengundang orang dalam acara sepenting itu. Mereka tidak melanggar kok. Kecuali jika mereka mengabaikan tugas utamanya di sana. Tugas mereka kan dilaksanakan. Itu hal positif malah menurut saya, untuk lebih mengenalkan Indonesia ke negara lain," tuturnya.
Lanjut Emrus, ada baiknya para anggota DPR memerhatikan hal lain yang lebih penting dibandingkan membahas kunjungan Setya dan Fadli itu.
"Masih banyak kerjaan lain, misal membicarakan tentang turunnya nilai rupiah kita dari sudut pandang mereka sebagai anggota DPR. Daripada mereka mempermasalahkan Setya dan Fadli Zon yang sebenarnya tidak signifikan untuk kepentingan negara. Dolar melambung tinggi, rupiah turun, sehingga banyak mengakibatkan rakyat menderita. Saya kira teman-teman di DPR itu lebih baik memikirkan ketinggian uang daripada kunjungan," tutupnya.