Menjaga integrasi institusi
Meski dalam satu institusi, anggota KPU dan birokrat sering tidak kompak. Efektivitas kerja lembaga pun rendah.
KPU adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Namun entitas kelembagaan ini lemah. Bandingkan dengan MK dan KY, yang sama-sama dibentuk oleh UUD 1945 hasil perubahan. Mereka lebih solid, bergerak cepat, dan efisien.
Bandingkan juga dengan KPK, lembaga yang dibentuk hanya oleh undang-undang. KPK sigap mengatasi tuntutan publik. Kredibilitasnya terus naik, sehingga ketika DPR dan lembaga lain hendak menggerogotinya, KPK mendapat pembelaan masyarakat.
Yang terjadi dengan KPU, beda sama sekali. Sukses penyelenggaraan Pemilu 2004, malah membawa ketua dan anggotanya ke penjara. Tak hanya di tingkat pusat, puluhan anggota KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota terbelit tindak pidana korupsi.
KPU Pemilu 2009 yang memiliki banyak keterbatasan personal -- akibat timsel, presiden dan DPR salah pilih orang -- waktu persiapan yang mepet; tidak dimaklumi publik ketika penyelenggaraan Pemilu 2009 amburadul. Malahan kemudian jadi bahan cercaan dan ketawaan, ketika anggotanya, Andi Nurpati, menyeberang ke Partai Demokrat.
Apa yang salah dengan KPU? Salah rekrut adalah satu hal. Tapi itu bukan satu-satunya penyebab KPU terpuruk. Sebagai institusi KPU seakan memiliki masalah akut organisasional. Hubungan anggota KPU dengan staf sekretariat tidak harmonis. Anggota KPU merasa para birokrat tidak profesional, sebaliknya para birokrat tak segan mencap anggota KPU tak paham administrasi pemerintahan.
Akibatnya, tampak dari luar, anggota KPU dan sekretariat itu seakan berasal dari institusi berbeda. Padahal mereka dalam satu perahu, satu institusi bernama KPU. Masalah ini bukan tak disadari oleh anggota KPU dan pembuat undang-undang. Namun sejak LPU berubah menjadi KPU pada Pemilu 1999, hingga 10 tahun kemudian, masalahnya tidak selesai.
Bandingkan dengan KPK yang tampak solid sebagai institusi. Ketika ada ketegangan antara pimpinan KPK dengan para penyidik, mereka segera mencari jalan keluar. Sementara, dari dulu hingga kini, anggota KPU dan staf sekretariat seakan jalan sendiri-sendiri. Kondisinya semakin parah terjadi di lingkungan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Banyak sebab, mengapa hal itu terjadi. Pertama, faktor keterlanjuran sejarah. Sebagai lanjutan LPU, KPU sudah lama dikuasai dan dioperasionalkan oleh birokrat. Oleh karena itu, ketika anggota KPU masuk, kedua pihak seakan saling berhadapan. Anggota menuntut perubahan fundamental, sementara birokrat terpaku pada aturan main administrasi.
Kedua, UU No. 22/2007 (dan masih dipertahankan dalam UU No. 15/2011) menempatkan staf sekretariat hanya sebagai "pembantu" anggota KPU, sehingga mereka seakan institusi terpisah. Sebaliknya, undang-undang juga mendorong anggota KPU terlibat kegiatan teknis administratif, sehingga cenderung mencampuri urusan sekretariat.
Padahal prinsip pembagian tugas antara anggota KPU dan staf sekretariat adalah jelas: yang satu mengambil kebijakan, membuat keputusan; yang lain memfasilitasi dan melaksanakan kebijakan atau putusan tersebut. Tetapi justru pada titik ini, kedua belah pihak belum berhasil menjalankan fungsi masing-masing.
Inilah tentangan organisasional terbesar KPU yang dipimpin Huni Kamil Manik. Jika mereka berhasil mengatasi masalah ini, bisa dipastikan efektivitas kerja meningkat pesat. Kantor KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota pun punya contoh untuk mempraktekkan bagaimana mengatur dan melaksanakan pemilu dengan baik.