Pakar HTN: Ambang Batas Capres Praktik Politik Bercorak Oligarki
"Saatnya kita tinggalkan paradigma monopolistik partai dalam pengajuan capres dan cawapres. Biarlah rakyat memilih dengan banyak kandidat capres-cawapres. Hentikan praktik politik yang bercorak oligarkis agar demokrasi yang terbangun adalah benar-benar demokrasi yang substantif," tambah dia Fahri Bachmid.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid menilai, Presidential Threshold 20 persen tidak sejalan dengan spirit konstitusi. Menurutnya, Presidential Threshold sebaiknya 0 persen.
Pemerintah dan DPR kini tengah membahas revisi UU Pemilu. Ada wacana presidential threshold 20 persen, sampai disesuaikan dengan parliamentary threshold.
-
Apa tujuan utama Pemilu di Indonesia? Tujuan Pemilu secara Umum Tujuan pemilihan umum (Pemilu) secara umum adalah untuk memilih wakil rakyat dan membentuk pemerintahan baru sesuai dengan kehendak rakyat.
-
Apa yang sedang diurus Ramzi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur? Ramzi menyebutkan bahwa kedatangannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur adalah untuk melengkapi berkas administrasi pencalonannya.
-
Kapan Piramida Pugung Raharjo ditemukan? Situs ini ditemukan secara tidak sengaja oleh kelompok transmigran pada 1957.
-
Apa tujuan utama dari Pemilu di Indonesia? Tujuan utama dari pemilu adalah untuk menjunjung tinggi sistem demokrasi, di mana partisipasi warga negara dalam proses politik sangat penting.
-
Apa yang dikatakan oleh Ridwan Kamil saat maju di Pilkada Jakarta? Calon pesaing Anies, Ridwan Kamil tak kalah kuat. Ridwan Kamil mendapatkan lampu hijau dari partai koalisi Prabowo-Gibran untuk maju Pilkada Jakarta. Partai-partai yang menyatakan kesiapan mengusung Ridwan Kamil itu adalah Gerindra, PAN dan Golkar. Bahkan, Gerindra sudah terang-terangan menginginkan kadernya menjadi calon wakil gubernur untuk mendampingi Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta 2024."Secara alami secara manusiawi, kami ingin wakil kami ada di wakil gubernur," kata Habibburokhman kepada wartawan.
-
Kapan Pemilu di Indonesia diselenggarakan? Pemilihan umum alias Pemilu digelar lima tahun sekali di Indonesia.
"Kami berharap ke depan jika norma serta pranata presidential threshold masih tetap dipertahankan dalam rumusan RUU Pemilu yang akan datang. Dan pada saat yang sama ada warga negara yang berkehendak men-challenge ke pengadilan, maka kami berharap MK sebagai penjaga konstitusi dapat mengubah pendiriannya untuk tidak lagi mentolerir adanya pelanggaran konstitusi oleh penyelenggara negara, termasuk DPR dan pemerintah yang sedang menggodok RUU Pemilu ini," ujar Fahri.
Hal tersebut disampaikan Fahri Bachmid saat menjadi pembicara Webinar yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UMI Makassar yang bertajuk ‘RUU Pemilu Dan Presidential Threshold Dilihat Dari Aspek Konstitusi’, Senin (29/6).
Menurut Fahri Bachmid, jika Presidential Threshold ditiadakan, maka rakyat akan memiliki banyak pilihan sosok capres yang berkualitas dan negarawan. Untuk itu, kata Fahri, sistem yang dibangun terkait ambang batas capres ini harus lebih akomodatif dan hal itu juga untuk menghindari politik bercorak oligarkis.
"Saatnya kita tinggalkan paradigma monopolistik partai dalam pengajuan capres dan cawapres. Biarlah rakyat memilih dengan banyak kandidat capres-cawapres. Hentikan praktik politik yang bercorak oligarkis agar demokrasi yang terbangun adalah benar-benar demokrasi yang substantif," tambah dia Fahri Bachmid.
Fahri menuturkan, meniadakan ambang batas capres sangat penting untuk menegakkan prinsip negara hukum yang demokratis dan penegakan supremasi konstitusi serta paham konstitusionalisme yang dianut saat ini.
Menurut Fahri Bachmid, berdasarkan desain konstitusional terkait Pilpres diatur dalam ketentuan norma pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan ketentuan pasal 22E ayat (2) dan (3). Ketentuan Ayat (2) mengatur tentang Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR RI, DPD RI, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kemudian ketentuan ayat (3), mengatur tentang Peserta Pemilu adalah Partai Politik.
Dengan demikian, Fahri menegaskan, berdasarkan bangunan sistem Pemilu presiden yang demikian itu, secara konstitusional tidak dapat ditafsirkan sebaliknya dengan pranata ‘presidential threshold’ sebagaimana diatur dalam norma pasal 222 UU RI No. 7 Tahun 2017 yang mengatur pasangan Capres yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
"Ini merupakan pranata serta norma yang sangat oligarkis dan tidak sejalan dengan spirit konstitusi," tegas Fahri.
Disebutkan Fahri, mestinya MK sebagai ‘The Guardian of The Constitution’ tidak boleh mentolerir pelanggaran konstitusi yang sedemikian rupa tersebut. Dan jika ada kelompok warga negara yang hendak melakukan judicial review untuk menegakkan konstitusi, Fahri berharap, MK sebagai ‘The Sole Interpreter of Constitution’ dapat membangun tafsir yang sejalan dengan rumusan ‘original intent’ sebagaimana makna hakiki dari rumusan dalam ketentuan pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945.
Sebab, pada esensinya syarat pengajuan pasangan Capres dan Cawapres adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu. Menurutnya, hal itu tidak perlu ditafsirkan lain yang sifatnya distorsif dari makna serta teks konstitusi yang sangat terang dan jelas.
"Jika Pemerintah dan DPR tetap mempertahankan rezim presidential threshold (PT) dalam RUU Pemilu ini tentunya sangat destruktif dan merusak tatanan demokrasi kita. Presidential Threshold adalah barang haram yang wajib ditiadakan," katanya.
Fahri menambahkan bahwa ketentuan pasal 6A ayat (2) yang mengatur tentang Capres-Cawapres yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum Pemilu dilaksanakan, merupakan rumusan sangat definitif, jelas, terang serta tidak multi interpretasi.
Dengan demikian, jangan lagi membangun politik hukum seolah-olah ada ruang pengaturan lebih lanjut serta derivatif untuk membuka peluang bagi DPR menggunakan kewenangan legislasinya dalam format ‘open legal policy’ untuk merumuskan norma pembatasan ‘retriksi’ dengan memunculkan ketentuan pasal 222 sebagaimana terdapat dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu mewajibkan syarat 20 persen kursi di DPR dan 25 persen suara sah nasional maupun dalam RUU Pemilu ke depan.
(mdk/rnd)