Penjelasan KPK soal pernyataan Agus Rahardjo sebut OSO seperti banci
Penjelasan KPK soal pernyataan Agus Rahardjo sebut OSO seperti banci. Partai Hanura memprotes pernyataan ketua KPK Agus Rahardjo yang menyindir Oesman Sapta Odang (OSO) seperti banci karena merangkap ketua DPD sekaligus ketua umum Hanura. KPK menyebut, pernyataan Agus tidak diperuntukan untuk personal.
Partai Hanura memprotes pernyataan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo yang menyindir Oesman Sapta Odang (OSO) seperti banci karena merangkap ketua DPD sekaligus ketua umum Hanura. KPK menyebut, pernyataan Agus tidak diperuntukan untuk personal.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, pernyataan Agus berdasarkan sejarah pembentukan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang tidak mewakili partai politik.
"Jadi KPK tidak berbicara secara personal, KPK hanya mengomentari sisi garis besar dan sisi historis dari DPD tersendiri bukan kepada personal, karena diskusi yang kita lakukan kemarin temanya cukup jelas terkait rangkap jabatan dan konflik kepentingan ini yang perlu dibenahi," ujar Febri di gedung KPK, Jumat (5/5).
Sebelumnya, dalam diskusi dengan tema 'Membedah rangkap jabatan pejabat pemerintah' di KPK, Agus sempat menyinggung sikap OSO yang menjadi ketua DPD padahal dia juga merangkap sebagai ketua umum partai Hanura.
"Ide kita buat DPD dulu apa sih, keterwakilan partai atau daerah, kalau daerah mestinya dipisahkan kalau anda partai anda yang di DPR jadi harus ada aturan yang jelas. Kalau terjadi kasusnya Pak OSO jadi seperti banci kan ini," kata Agus.
Dirinya juga menegaskan, seorang pejabat publik tidak boleh lagi untuk berpartai. Meskipun dia menjabat sebagai gubernur sekalipun, tetap dia tidak boleh berpartai dan hanya bertugas melayani masyarakat.
Kalau kita bicara di situ, mesti ada aturan menyatakan bahwa seorang pejabat publik tidak boleh lagi masih berpartai. Kalau dilihat sebetulnya harus melayani semua masyarakat begitu jadi gubernur kan meskipun dicalonkan dari partai tertentu setelah jadi gubernur rakyat itu kemudian harus anda layani semua enggak boleh diskriminatif mestinya ada aturannya," ucapnya.
Jika adanya pejabat publik yang masih menggunakan almamater atau berlatarbelakang partai, pejabat itupun harus bisa melepaskan almamater partainya itu.
"Dia menjadi pejabat publik dia harus lepaskan baju partai mestinya kan begitu. Nah, memang yang masih mungkin memakai baju partai kawan kawan di DPR karena di sana ada fraksi itupun etika harus selalu dikontrol standarnya harus ditegakkan," pungkas Agus.