Perludem Prediksi Jual Beli Tiket Pencalonan Berpotensi Terjadi di Pemilu 2024
Selain jual beli tiket pencalonan (candidacy buying), jual beli suara (vote buying) juga berpotensi terjadi pada pemilu mendatang.
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini memperkirakan problematik pada pemilihan umum sebelumnya bakal berulang pada Pemilu 2024, termasuk praktik politik uang seperti jual beli tiket pencalonan (candidacy buying) dan jual beli suara (vote buying) berpotensi terjadi pada pemilu mendatang.
"Begitu pula terkait dengan basa-basi laporan dana kampanye. Politik berbiaya tinggi yang tidak akuntabel, yakni kontestasi mahal tetapi tidak tergambar dalam laporan dana kampanye," kata Titi Anggraini pada acara Refleksi Akhir Tahun 2021 bertajuk Dinamika Ketatanegaraan dan Kepemiluan Indonesia dilansir Antara, Kamis (30/12).
-
Kapan Pemilu 2024? Sederet petahana calon legislatif (caleg) yang sempat menimbulkan kontroversi di DPR terancam tak lolos parlemen pada Pemilu 2024.
-
Bagaimana Pemilu 2024 diatur? Pelaksanaan Pemilu ini diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu 2024. Regulasi ini diteken KPU RI Hasyim Asyari di Jakarta, 9 Juni 2022.
-
Mengapa Pemilu 2024 penting? Pemilu memegang peranan penting dalam sistem demokrasi sebagai alat untuk mengekspresikan kehendak rakyat, memilih pemimpin yang dianggap mampu mewakili dan melayani kepentingan rakyat, menciptakan tanggung jawab pemimpin terhadap rakyat, serta memperkuat sistem demokrasi.
-
Apa tujuan utama dari Pemilu 2024? Pemilu merupakan wadah bagi rakyat untuk menjalankan demokrasi demi mempertahankan kedaulatan negara.
-
Apa saja yang menjadi tahapan pemilu 2024? Melansir dari berbagai sumber, berikut ini merdeka.com merangkum informasi tentang apa saja tahapan pemilu 2024, berikut jadwal serta alurnya. Simak ulasannya sebagai berikut. Tahapan Pemilu 2024 Dikutip dari laman KPU mereka merilis informasi tentang tahapan yang akan dilalui di pemilu 2024.
Titi juga menyampaikan sejumlah problematik lainnya yang berpotensi berulang pada pemilu mendatang yang pelaksanaannya bersamaan dengan pemilihan kepala daerah di 34 provinsi dan di 514 kabupaten/kota, yakni otonomi/kemandirian penyelenggara pemilu, akurasi/validitas daftar pemilih tetap (DPT), dan netralitas aparatur sipil negara/birokrasi.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini lantas menyebutkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait dengan ambang batas pencalonan presiden, kemudian syarat calon perseorangan yang makin berat, hegemoni dewan pimpinan pusat (DPP) dalam pencalonan pilkada dan ongkos politik yang makin mahal.
Di sisi lain, lanjut dia, disparitas yang makin senjang dan terbuka antara sikap pembuat undang-undang dan aspirasi publik terkait dengan pengaturan pemilu demokratis, seperti pembatalan revisi UU Pemilu dan pelanggengan ambang batas pencalonan presiden.
Kendati demikian, pegiat pemilu ini menilai demokrasi elektoral Indonesia secara prosedural makin baik. Namun, fenomena kehadiran hambatan yang makin berlapis untuk mengakses kompetisi pemilu/pilkada yang bebas, adil, dan setara (multiple barriers to entry phenomena).
Titi menyampaikan sejumlah rekomendasi, antara lain terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 16/PUU-XIX/2021 yang memberi ruang pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum dapat menyepakati adanya jeda waktu antara pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/Kota dan Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, serta Pemilu Presiden/Wakil Presiden.
"Perlu pula dielaborasi dan dipertimbangkan serius sebagai pilihan untuk mengurai beban dan kompleksitas pemilu," kata Titi yang pernah terpilih sebagai Duta Demokrasi mewakili Indonesia dalam International Institute for Electoral Assistance (International IDEA).
Rekomendasi lainnya, memperpanjang masa jabatan penyelenggara pemilu di provinsi dan kabupaten/kota setidaknya sampai dengan akhir tahapan Pilkada 2024. Namun, kata Titi, memerlukan perubahan UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
"Hal ini bisa dilakukan melalui revisi terbatas ataupun penerbitan Perpu Pemilu," kata Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Hal lain yang tidak kalah pentingnya, menurut dia, rekrutmen penyelenggara pemilu harus keluar dari stigma pragmatis dan banyaknya kelindan kepentingan sektarian.
"Berikanlah penyelenggara pemilu terbaik untuk Indonesia. Mereka yang independen, imparsial, berintegritas, profesional, dan berorientasi pelayanan," ujarnya.
Baca juga:
Menko Polhukam: Kondisi Politik 2022 Diperkirakan Stabil, Kondusif dan Terkendali
Pesan Ical Jelang Tahun 2022: Golkar Harus Siap Hadapi Gangguan Internal-Eksternal
PAN Sebut Survei Parpol Selalu Beda dengan KPU, Ini Hitung-Hitungan Lembaga Survei
PKB Ungkap Dua Solusi Selesaikan Masalah Plt Kepala Daerah
PAN Anggap Hasil Survei Selalu Aneh, Beda 500 Persen dari KPU