Perppu bumbung kosong di pilkada dinilai berbahaya bagi demokrasi
"Yang terbaik ikuti undang-undang yang ada," kata Toto.
Sejumlah pihak mendesak agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perppu terkait polemik calon tunggal pilkada. Namun hal ini dinilai bisa membawa dampak buruk bagi demokrasi Indonesia ke depan, khususnya pemilihan kepala daerah.
Peneliti Para Syndicate Toto Sugiarto menilai, Jokowi tak perlu mengeluarkan Perppu untuk calon tunggal pilkada. Termasuk dengan wacana bumbung kosong sebagai salah satu jalan keluar dari calon tunggal ini.
"Presiden sebaiknya tidak menerbitkan Perppu terkait bolehnya calon tunggal lawan bumbung kosong, langkah tersebut bisa berbahaya bagi demokrasi," kata Toto dalam pesan singkat kepada wartawan, Selasa (4/8).
Dia menilai, aturan bumbung kosong bisa dimanfaatkan oleh para politisi berduit untuk membeli seluruh partai agar mendukung satu calon kepala daerah di pilkada. Dengan demikian, calon tunggal itu bisa menang dengan mudah tanpa harus melawan calon lain.
"Jika diberlakukan dalam jangka panjang, apalagi dipermanenkan dalam undang-undang nantinya, akan banyak politisi dompet gendut yang borong parpol, itu bahaya," terang dia.
Memang jika diberlakukan bagi Pilkada 2015 saja, lanjut dia, Perppu tidak memunculkan aksi borong partai oleh pilitisi akal-akalan tersebut. Namum hal itu, kata dia, akan menjadi preseden buruk ke depan bahwa bangsa ini tidak menghormati hukum yang telah dibuat sendiri.
"Hukum dibelok-belokan demi kepentingan sesaat parpol. Sebaiknya bangsa ini belajar menghormati hukum yang telah dibuat sendiri, menjalankannya dengan segala konsekuensi yang muncul," terang dia.
Toto menambahkan, sebaiknya untuk pilkada ini mengikuti aturan PKPU tahun 12 tahun 2015. Di mana jika hanya ada calon tunggal, maka pilkada ditunda hingga 2017.
"Yang terbaik ikuti undang-undang yang ada, kalau alasannya banyak plt, kan tahun depan juga akan banyak plt karena habis masa jabatan tahun 2016, sementara pilkadanya ikut tahun 2017. Jadi alasan kedaruratan tidak ada," pungkasnya.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi menutup pendaftaran calon kepala daerah di pilkada serentak tahap pertama. Setidaknya, ada tujuh daerah yang hanya memiliki satu calon dalam draf yang tercatat di KPU.
Sesuai aturan PKPU Nomor 12 Tahun 2015, daerah yang hanya memiliki calon tunggal maka penyelenggaraan pilkada harus diundur sampai 2017 nanti. Namun hal ini menjadi pro dan kontra, karena pertimbangan hak konstitusional. Belum tentu juga, pada 2017 nanti daerah itu ada dua calon.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo telah berpikir jalan keluar tentang aturan calon tunggal itu. Salah satunya dengan metode bumbung kosong, seperti yang terjadi dalam pemilihan kepala desa jika hanya ada satu calon saja.
"Kami dan Menteri Hukum dan HAM, Dirjen Otda, sudah rapat dengan sesama Eselon I di bawah koordinasi Sesmenko Polhukam menyiapkan berbagai opsi seandainya besok mendadak harus ada ratas kabinet untuk membahas masalah ini. Walaupun masih tanggal 9 Desember, tetapi kan harus opsi-opsi ini harus kita bahas," papar Tjahjo di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (3/8).
"Satu pasang pun harus diperhatikan hak konstitusionalnya dalam pilkada. Apakah mekanismenya menggunakan sistem Pilkades dengan sistem Bumbung Kosong," imbuhnya,
Risikonya, apabila masyarakat di daerah tersebut banyak yang memilih Bumbung Kosong ketimbang pasangan calon yang diusung parpol, maka Kementerian Dalam Negeri akan menunjuk Pelaksana Tugas Kepala Daerah untuk ditempatkan di daerah tersebut.
"Kalau gubernur (penunjukan) lewat Keppres, bupati-walikota dengan surat keputusan Mendagri," tutur Tjahjo.
Meski baru mengungkap dua opsi, namun Tjahjo mengatakan, kemungkinan masih ada opsi lain yang potensial diajukan sesuai kesepakatan berbagi pihak.
"Atau nanti Pak Laoly bersama dengan Kementerian Dalam Negeri, Ditjen Otda menyiapkan berbagai opsi yang nanti akan dibahas bersama KPU dan juga konsultasi kemungkinan DPR dengan bapak presiden. yang saya dengar, DPR sudah akan mengajukan konsultasi. Besok kita akan menyiapkan opsi-opsi itu kepada bapak presiden melalui Mensesneg, kemudian Menko Polhukam juga menyampaikan opsi apa yang bisa digunakan," ucap Tjahjo.
Sekadar informasi, Bumbung kosong adalah kertas bergambar kosong yang disandingkan dengan calon tunggal di surat suara pemilihan kepala daerah. Jika kertas kosong yang menang, maka calon kepala daerah tersebut tak boleh lagi nyalon, kepala daerah ditunjuk langsung pemerintah.
Baca juga:
Bumbung kosong bisa jadi solusi mengatasi calon tunggal pilkada
Haruskah Jokowi mengeluarkan Perppu calon tunggal pilkada serentak?
Marak calon tunggal, politikus PDIP tuding ada pihak buat skenario
Ini laporan resmi pendaftaran peserta Pilkada sampai hari terakhir
Calon Wawali Surabaya yang hilang ternyata mundur karena diminta ibu
Berkas pasangan Dimas-Babai di Pilkada Depok dikabarkan palsu
Pacitan susul lima daerah yang gagal ikut Pilkada tahun ini
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Kenapa Pilkada Serentak dianggap penting? Sejak terakhir dilaksanakan tahun 2020, kali ini Pilkada serentak diselenggarakan pada tahun 2024. Dengan begitu, penting bagi masyarakat Indonesia untuk mengetahui kapan Pilkada serentak dilaksanakan 2024.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.
-
Kenapa Pilkada itu penting? Pilkada artinya singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah, adalah salah satu momen krusial dalam sistem demokrasi kita.
-
Mengapa Pilkada Serentak diadakan? Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan pemilihan, serta mengurangi biaya penyelenggaraan.