Polemik Wamen Rangkap Jabatan, Putusan MK Jadi Pro Kontra
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait rangkap jabatan wakil menteri menuai pro dan kontra. Putusan MK dianggap hanya pendapat, bukan larangan oleh Istana. Sebab, gugatan atas rangkap jabatan ditolak karena para penggugat tak memiliki legal standing.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait rangkap jabatan wakil menteri menuai pro dan kontra. Putusan MK dianggap hanya pendapat, bukan larangan oleh Istana. Sebab, gugatan atas rangkap jabatan ditolak karena para penggugat tak memiliki legal standing.
Istana melalui Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono, mengatakan, MK tidak memberikan keputusan terkait gugatan tersebut. MK juga, kata Dini, tidak menerima permohonan tersebut.
-
Kapan Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi? Sebelumnya, Masinton Pasaribu berupaya menggalang dukungan anggota Dewan untuk mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi.
-
Kapan Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres? Momen kunjungan kerja ini berbarengan saat Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres diajukan Kubu Anies dan Ganjar.
-
Kapan Harsono menjabat sebagai wakil Perdana Menteri? Selanjutnya, pada tahun 1955, ia menjabat sebagai wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Burhanuddin Harahap.
-
Apa yang menjadi topik utama dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini? Mahkamah Konstitusi (MK) memulai rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada hari ini, Sabtu, usai sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yang bertujuan untuk menentukan putusan dari seluruh proses PHPU.
-
Kapan Mahkamah Konstitusi menggelar sidang putusan gugatan batas usia capres dan cawapres? Mahkamah Konsitutusi (MK) menggelar sidang putusan gugatan batas usia capres dan cawapres dalam UU Pemilu.
-
Apa harapan Anies Baswedan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK)? “Kita hormati, kita belum tahu, dan kita tidak mau berspekulasi, tapi kita berharap bahwa MK mengambil peran untuk menyelamatkan demokrasi kita, membuat mutu demokrasi kita terjaga,” kata Anies di MK.
"Permohonan pemohon dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK. Namun MK memang memberikan pendapat, bahwa ketentuan rangkap jabatan yang berlaku terhadap Menteri seharusnya diberlakukan mutatis mutandis terhadap jabatan Wamen," kata Dini.
Gugatan diajukan Ketua Forum Kajian Hukum dan Konstitusi Bayu Segara ke MK yang dilakukan pada awal Januari lalu. Hakim MK pun menyatakan dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 telah mengatur soal larangan menteri untuk rangkap jabatan.
Wamen ditempatkan sebagai pejabat yang sama statusnya dengan menteri. Yakni sama-sama political appointee dan bukan jabatan karir, yang juga perlu pertanggungjawaban publik.
Dini berpandangan, pendapat MK tersebut sifatnya tidak mengikat. Sebab, kata Dini, bukan dari keputusan. Tetapi terkait hal tersebut, dia mengatakan, pemerintah akan memperhatikan dan mempelajari lebih lanjut.
"Pemerintah akan memperhatikan dan mempelajari lebih lanjut pendapat MK tersebut," ungkap Dini, 6 September lalu.
Sejumlah wakil menteri memang diketahui menjabat sebagai komisaris di BUMN. Misalnya, Wamen BUMN Kartika Wirjoatmodjo juga menjabat sebagai Komisaris Utama di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Selanjutnya, Wamen BUMN Budi Gunadi Sadikin juga merupakan Wakil Komisaris Utama PT Pertamina (Persero). Kemudian, Wamen Keuangan Suahasil Nazara, dia juga tercatat sebagai Wakil Komisaris Utama PT PLN (Persero).
Putusan MK Dianggap Mengikat
Namun, pandangan berbeda diungkapkan oleh Pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid menilai, pendapat Istana keliru menafsirkan putusan MK. Menurut Fahri, putusan MK tersebut bukan merupakan pendapat, tapi lebih pada putusan dan hal itu sudah final dan mengikat.
"Stafsus Presiden (Dini Purwono) tidak komprehensif dalam membaca dan memahami hakikat putusan MK dalam konteks bagaimana eksplanasi filsafati, teoritisi dan praktis mengenai kekuatan mengikat pertimbangan hukum putusan MK. Karena beliau hanya melihat putusan MK sekadar pada amarnya saja. Sehingga tidak utuh dalam memahami pesan konstitusional serta kaidah yang terdapat dalam tafsir hakim MK berkaitan dengan larangan rangkap jabatan oleh Wamen itu," ujar Fahri dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/9).
Fahri menjelaskan rinci, putusan MK tersebut tak dapat diganggu gugat karena MK sudah mempertimbangkan sebelum memutuskan gugatan Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 yang diajukan Ketua Forum Kajian Hukum dan Konstitusi Bayu Segera tersebut.
Fahri menambahkan, dalam pertimbangan putusan itu, MK telah menegaskan bahwa Wamen adalah pejabat negara. Karena itu, Wamen tidak boleh rangkap jabatan baik sebagai komisaris BUMN atau jabatan lain sebagaimana larangan rangkap jabatan berlaku bagi bagi menteri seperti diatur UU Kementerian Negara.
"Artinya hakim MK telah melakukan tafsir secara otoritatif atas permasalahan tersebut. Dengan demikian menjadi wajib untuk presiden melaksanakan putusan itu, sesuai mandat konstitusional yang dikirimkan oleh MK dalam putusan ‘a quo’ itu tanpa ada pengecualian," kata Fahri lagi.
Karenanya, Fahri secara prospektif Presiden dan atau Menteri BUMN wajib segera mencopot posisi Wamen yang menduduki jabatan Komisaris di BUMN yang dijabat oleh Wamen. Hal ini, lanjut Fahri, mulai berlaku sejak putusan MK pada 27 Agustus lalu.
Dengan demikian, Wamen bisa fokus membantu Menteri dalam menjalankan tugas-tugas kontitusionalnya sesuai putusan MK.
Sebab, secara konstitusional, pertimbangan hukum yang terdapat dalam putusan MK adalah mengikat karena hal tersebut barangkat dari penalaran hakim konstitusi tentang proses penafsiran atas fakta-fakta dan hukum dalam fungsi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi (ultimate interpreter).
Fahri menuturkan, pertimbangan hukum MK dalam perkara ini sepanjang mengenai larangan rangkap jabatan Wamen sama seperti larangan kepada Menteri sesuai ketentuan pasal 23 UU Kementerian Negara secara yuridis sejalan dengan ketentuan pasal 45 sampai dengan pasal 49 UU MK, yang mana ditegaskan bahwa putusan MK mencakup pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.
"Dalam terminologi putusan,dasar/alasan pengadilan untuk memutus disebut sebagai ‘ratio decidendi’ atau legal ‘reasoning’ dalam makna yang mengikat sehingga hukum menjadi tertib dan diterapkan secara utuh ‘uitputtend’. Dengan demikian, berdasarkan mandat konstitusional dalam pertimbangan hukum MK itu, hal ini menjadi kaidah yang harus diikuti serta bercorak wajib," jelas Fahri.
Jabatan Wamen Konstitusional
Lebih lanjut, Fahri menambahkan, larangan seorang Wamen merangkap jabatan yang diputuskan MK patut diapresiasi, karena yang mengangkat Wamen adalah Presiden sesuai kebutuhan. Maka dari itu, jabatan Wamen tetap dianggap konstitusional sebagaimana termuat dalam Putusan MK No. 79/PUU-IX/2011.
Namun demikian, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah melarang Wamen merangkap jabatan lain sebagaimana ketentuan larangan yang berlaku pada menteri.
"Dalam putusan itu, MK putuskan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan a quo. Dan dalam Pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum, serta amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima, hal demikian berdasar pada Putusan MK nomor : 80/PUU-XVII/2019 yang dibacakan pada tanggal 27/08/2020," paparnya.
Fahri menjelaskan, Pasal 10 UU RI No. 23 Tahun 2008 menyebutkan ‘Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada Kementerian tertentu’. Di sini, kata Fahri, Mahkamah berpendapat pengangkatan Wakil Menteri boleh dilakukan oleh Presiden, terlepas diatur atau tidak diatur dalam UU Kementerian Negara. Sebab, Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD NRI Tahun 1945. Dan mengenai kedudukan Wamen, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 dengan amar putusan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.
Dijelaskan Fahri, Mahkamah mengatakan, Pasal 10 UU Kementerian Negara tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengandung persoalan konstitusionalitas. Mahkamah menegaskan, persoalan konstitusionalitas norma Pasal 10 UU Kementerian Negara telah selesai dan tidak terdapat alasan baru yang dapat mengubah pendirian Mahkamah yang dimaksud. Karena itu, berkenaan dengan dalil-dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan.
Pertimbagan hukum MK sebagaimana terdapat pada halaman 97 putusan tersebut, Fahri menegaskan, MK memandang penting bagi Mahkamah menegaskan fakta yang dikemukakan para pemohon mengenai tidak adanya larangan jabatan Wamen yang mengakibatkan Wamen dapat merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta.
Terkait fakta itu, katanya, sekalipun Wamen membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian, tapi karena pengangkatan dan pemberhentian Wamen merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana halnya pengangkatan dan pemberhentian Menteri, maka Wamen haruslah ditempatkan pula sebagai pejabat sebagaimana status yang diberikan kepada Menteri.
“Dengan status demikian, maka seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU No. 39/2008 berlaku pula bagi Wamen dan pemberlakuan demikian dimaksudkan agar Wamen fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus dikementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat Wamen dikementerian tertentu," tutup Fahri.
Gugatan Ditolak
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai, putusan MK sifatnya final dan mengikat. Tidak tak setuju dengan anggapan Istana yang mengatakan perkara rangkap jabatan itu hanya pendapat.
Tapi, kata Bivitri, memang harus mengerti MK dan baca putusannya untuk memahami perkara ini. Jadi yang mengikat itu apakah amar putusan atau inti putusan sesuai yang diminta.
Masalahnya, lanjut dia, putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 memang bukan mengabulkan, tetapi menyatakan tidak dapat diterima. Pokok perkaranya sendiri belum diputuskan dikabulkan atau tidaknya.
"Dalam bagian pertimbangan, MK sudah menulis pertimbangan-pertimbangan itu. Tapi perkaranya sendiri tidak diterima sebelum perkaranya diputus, karena pemohon dianggap tidak memiliki legal standing," jelas Bivitri saat dikonfirmasi.
Bivitri pun menjelaskan, jenis putusan di MK ada tiga, yakni tidak dapat diterima, ditolak dan dikabulkan. Dia menjelaskan, tidak dapat diterima itu kalau syarat formilnya tidak dipenuhi, jadi belum masuk pokok perkaranya.
"Ibaratnya mau masuk rumah mau masak bareng, kaki harus bersih dan harus pakai baju putih. Belum sempat mulai masak bareng dan diputuskan apakah masakan enak atau enggak, karena kaki kotor kita sudah tidak boleh masuk. Jadi belum masuk substansi sudah tidak dapat diterima," terang Bivitri.
Putusan Belum Ada
Bivitri pun mengutip putusan MK dalam pertimbangan gugatan yang diajukan soal rangkap jabatan posisi Wamen tersebut.
Penting bagi Mahkamah untuk menegaskan perihal fakta yang dikemukakan oleh para Pemohon mengenai tidak adanya larangan rangkap jabatan wakil menteri yang mengakibatkan seorang wakil menteri dapat merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta.
Terhadap fakta demikian, sekalipun wakil menteri membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian, oleh karena pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana halnya pengangkatan dan pemberhentian menteri, maka wakil menteri haruslah ditempatkan pula sebagai pejabat sebagaimana halnya status yang diberikan kepada menteri.
Dengan status demikian, maka seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri. Pemberlakuan demikian dimaksudkan agar wakil menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat wakil menteri di kementerian tertentu.
“Tapi amar putusannya bilang, perkara tidak dapat diterima. Jadi ya memang dianggap putusan soal ini belum ada. Makanya sekarang sudah ada yang mengajukan (gugatan) lagi kan,” tegas Bivitri.