Politikus PDIP: Polisi, Hakim, Jaksa Tak Boleh di-OTT, Mereka Simbol Negara
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan mengusulkan polisi, hakim, jaksa tidak boleh ditangkap melalui operasi tangkap tangan (OTT). Menurut Arteria, tiga aparat ini merupakan simbol negara di bidang penegakan hukum.
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan mengusulkan polisi, hakim, jaksa tidak boleh ditangkap melalui operasi tangkap tangan (OTT). Menurut Arteria, tiga aparat ini merupakan simbol negara di bidang penegakan hukum.
"Bahkan ke depan di Komisi III, kita juga sedang juga menginisiasi 'saya pribadi' saya sangat meyakini yang namanya polisi, hakim, jaksa itu tidak boleh di-OTT," ujar Arteria dalam diskusi daring, dikutip pada Jumat (19/11).
-
Kapan KH Ahmad Dahlan dilahirkan? KH Ahmad Dahlan, yang lahir dengan nama Muhammad Darwis, dilahirkan pada 1 Agustus 1868 di Kampung Kauman, Yogyakarta.
-
Apa yang disita KPK dari rumah kader PDIP di Jatim? Dia melanjutkan, di rumah Mahfud yang berada di perumahan Halim Perdana Kusuma telah disita dua handphone dan uang tunai pecahan Rp 20 ribu senilai Rp 300 juta rupiah
-
Dimana rumah kader PDIP di Jatim yang digeledah KPK? Rumah yang digeledah itu diketahui berada jalan Halim perdana Kusuma Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
-
Kapan kasus pungli di rutan KPK terungkap? Kasus tersebut rupanya dilakukan secara terstruktur oleh salah satu mantan pegawai KPK bernama Hengki. Di saat yang bersamaan, penyidik KPK yang juga mengusut kasus pungli tersebut telah mengumumkan Hengki sebagai tersangka.
-
Apa yang jadi dugaan kasus KPK? Pemeriksaan atas dugaan pemotongan dan penerimaan uang, dalam hal ini dana insentif ASN Bupati Sidoarji Ahmad Muhdlor Ali diperiksa KPK terkait kasus dugaan pemotongan dan penerimaan uang, dalam hal ini dana insentif ASN di lingkungan BPPD Pemkab Sidoarjo.
-
Apa itu DPK? DPK adalah singkatan dari Daftar Pemilih Khusus. DPK adalah daftar pemilih yang memiliki identitas kependudukan tetapi belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).
"Bukan karena kita pro koruptor, karena mereka adalah simbol-simbol negara di bidang penegakan hukum," tegasnya.
Arteria menuturkan, instrumen penegakan hukum bukan hanya operasi tangkap tangan. Ia bilang, akan adil jika dibangun lebih dahulu konstruksi perkaranya.
"Kita ingin sampaikan banyak sekali instrumen penegakan hukum di samping OTT, bangun dong, bangunan hukum dan konstruksi perkaranya sehingga fairnessnya lebih kelihatan," ujarnya.
Politikus PDIP ini bilang, ketika operasi tangkap tangan akan memunculkan isu kriminalisasi dan politisasi. Kata Arteria, banyak aparat penegak hukum yang bisa membangun konstruksi hukum dengan baik, daripada hanya bermodal operasi tangkap tangan.
"Kalau kita OTT nanti isunya adalah kriminalisasi, isunya adalah politisasi. Padahal kita punya sumber daya polisi, jaksa, hakim, penegak hukum yang hebat-hebat. Masa iya sih, modalnya hanya OTT, tidak dengan melakukan bangunan konstruksi hukum yang lebih bisa dijadikan dichallange oleh semua pihak, sehingga fairnessnya lebih terlihat," pungkasnya.
Menyulut Novel Cs
Mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ramai-ramai menyindiri politikus PDIP Arteria Dahlan soal penegak hukum seperti polisi, hakim, dan jaksa tak boleh ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Mantan pegawai lembaga antirasuah yang menyindir Arteria, yakni mantan Kasatgas KPK Novel Baswedan, manta Kepala Bagian Perencanaan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang, hingga penyelidik KPK Aulia Postiera.
Awalnya, Aulia memposting dalam media sosial Twitter dirinya terkait pemberitaan Arteria Dahlan tersebut. Dalam postingannya Aulia mempersilakan setiap mereka yang membaca postingannya memberikan komentar. Novel Baswedan salah satu yang memberikan komentar.
"Sekalian saja semua pejabat tidak boleh di-OTT agar terjaga harkat dan martabatnya. Mau korupsi atau rampok uang negara bebas. Kok bisa ya anggota DPR berpikir begitu? Belajar di mana," cuit Novel Baswedan dalam akun pribadinya @nazaqistsha Jumat (19/11).
Aulia sendiri berpendapat argumen yang dilayangkan oleh Arteria Dahlan memang sengaja dibangun dengan maksud dan tujuan tertentu.
"Argumentasi-argumentasi ngawur terkait OTT ini seperti sengaja dibangun seperti saat dulu mereka membangun fitnah bahwa ada taliban di KPK yang berakibat adanya revisi UU KPK dan pemecatan pegawai dengan dalih TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) abal-abal. Semua pejabat takut terkena OTT karena ketika tertangkap enggak bisa berkelit lagi," kata Aulia.
Sindiran juga datang dari Rasamala Aritonang. Rasamala seperti memberikan kuliah hukum untuk Arteria Dahlan. Rasamala menerangkan soal Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang notabene dibuat oleh para wakil rakyat.
"UU Tipikor psl 12 huruf b mngtur pgw negri & pnylenggra ngra (PN) yg mnrima suap hrs ditngkap & dipnjra sd 20th, polisi & jksa adl PN. Psl. 12 huruf c hakim yg mnrima suap jg dipidana yg sma. Itu UU yg bkin tuan2 di DPR, trus ini anggota dewan blng jng ditngkap, sklh dmn kwn ini?," cuit Rasamala Aritonang.
Logika Bengkok
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga ikut mengkritik Arteria Dahlan. ICW mengaku heran dengan cara berpikir politikus yang duduk di Komisi III DPR bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan itu.
"ICW melihat ada yang bengkok dalam logika berpikir Arteria Dahlan terkait dengan OTT aparat penegak hukum," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (19/11).
Menurut Kurnia, pernyataan Arteria itu tidak memiliki dasar yang kuat. "Selain bengkok, pernyataan anggota DPR RI fraksi PDIP itu juga tidak disertai argumentasi yang kuat," kata Kurnia.
Menurut Kurnia, Arteria tidak memahami filosofi dasar penegakan hukum equality before the law. "Yang artinya siapa saja sama di muka hukum, sekali pun mereka adalah aparat penegak hukum," kata Kurnia.
Selain itu, menurut Kurnia, pernyataan Arteria yang menyebut OTT kerap kali menimbulkan kegaduhan sulit dipahami. Sebab, menurut Kurnia, kegaduhan timbul bukan karena penegak hukum melakukan OTT.
"Melainkan faktor eksternal, misalnya tingkah laku dari tersangka atau kelompok tertentu yang berupaya mengganggu atau menghambat penegakan hukum," kata Kurnia.
Kurnia meminta Arteria lebih cermat membaca KUHAP. Sebab, tangkap tangan diatur secara rinci dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP. Tangkap tangan juga legal dilakukan oleh penegak hukum.
Menurut Kurnia, Arteria tidak memahami hal utama yang dijadikan fokus penindakan perkara korupsi adalah penegak hukum. Satu contoh konkret bisa merujuk pada sejarah pembentukan KPK Hongkong atau ICAC.
"Di sana (Hongkong) pemberantasan korupsi dimulai dari membersihkan aparat kepolisian dengan menindak oknum yang korup. Dengan begitu, maka penegakan hukum dapat terbebas dari praktik korupsi dan kepercayaan publik pun lambat laun akan kembali meningkat," kata dia.
Meski demikian, Kurnia mengaku tidak terkejut dengan pernyataan Arteria. Kurnia berpandangan Arteria memang tak pro dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Namun, di luar itu, ICW tidak lagi kaget mendengar pernyataan Arteria Dahlan terkait hal tersebut. Sebab, dari dulu ia memang tidak pernah menunjukkan keberpihakan terhadap isu pemberantasan korupsi," kata Kurnia.
Reporter: Fachrur Rozie
Sumber: Liputan6.com