Saiful Mujani: Pemilu dan Pilkada Diserentakkan Menumpuk Konflik serta Berisiko
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani menilai, Pemilu nasional dan Pilkada digelar secara serentak merupakan penumpukan konflik dan beresiko. Ia mengatakan, seharusnya konflik itu didistribusikan agar bisa dikelola.
Pilkada serentak 2024 diperdebatkan. Dalam RUU Pemilu Pilkada kembali dinormalisasi agar digelar pada tahun 2022 dan 2023. Namun, ada sejumlah fraksi, yang sebagian pendukung pemerintah, meminta Pilkada tetap serentak dengan Pemilu nasional tahun 2024.
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani menilai, Pemilu nasional dan Pilkada digelar secara serentak merupakan penumpukan konflik dan beresiko. Ia mengatakan, seharusnya konflik itu didistribusikan agar bisa dikelola.
-
Apa itu Pemilu? Pemilihan Umum atau yang biasa disingkat pemilu adalah suatu proses atau mekanisme demokratis yang digunakan untuk menentukan wakil-wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan dengan cara memberikan suara kepada calon-calon yang bersaing.
-
Apa arti Pemilu? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilu atau Pemilihan Umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
-
Apa yang dimaksud dengan Pemilu? Pemilu adalah proses pemilihan umum yang dilakukan secara periodik untuk memilih para pemimpin dan wakil rakyat dalam sistem demokrasi.
-
Kenapa AHY meminta revisi UU Pemilu menjadi prioritas? Ini sebuah concern bersama yang harus kita kawal. Jadi nanti kalau sudah tenang semuanya, bersama teman teman fraksi DPR RI ke depan kita bicara bagaimana kita memperbaiki sistem pemilu. Sebelum bicara perubahan undang-undang yang lain bicarakan ini dulu
-
Apa tujuan utama dari Pemilu? Tujuan utama dari pemilu adalah menciptakan wakil-wakil yang dapat mencerminkan aspirasi, kebutuhan, dan nilai-nilai masyarakat.
"Konflik politik karena perbedaan kepentingan adalah normal. Yang harus dilakukan adalah mengelolanya supaya tidak menjadi kekerasan. Demokrasi adalah satu cara untuk tujuan itu. Pemilu/pilkada dilakukan serempak adalah bentuk penumpukan konflik dan beresiko," katanya dalam keterangannya dikutip Senin (1/2).
"Sebaiknya konflik dikelola dengan mendistribusikannya menurut tempat dan waktu sehingga resiko bahaya dapat ditekan dan lebih managable sesuai dengan kemampuan kita," jelasnya.
Dia menilai, Pilkada dan Pemilu jika dipisahkan akan mudah dikelola. Contohnya adalah penyelenggaraan Pilkada 2020 yang dianggap sukses meski digelar saat pandemi.
"Pilkada dan pemilu yang tersebar menurut waktu dan tempat, resiko tak terkelolanya lebih rendah seperti pengalaman kita selama ini. Contoh mutakhir adalah pilkada 2020 yang sukses besar: damai, voter turn out tinggi meski di tengah pandemi," ujarnya.
Namun, berkaca pada 2019, saat Pemilu diserentakan lima surat suara, dari Pilpres, legislatif DPR, DPD RI hingga DPRD provinsi dan kabupaten/kota, penyelenggaraannya kurang terkelola. Hasilnya, banyak korban berjatuhan.
"Pemilu dan pilpres 2019 adalah pelajaran mahal bagi kita. Kurang terkelola dengan baik. Banyak korban berjatuhan. Ini pelajaran penting. Jangan diulang," jelasnya.
Lebih lanjut, Saiful mengungkapkan, uji materi di Mahkamah Konstitusi menyatukan Pemilu dan Pilpres dikabulkan karena alasan politik praktis daripada pengelolaan demokrasi. Menurutnya, hal itu tidak didasarkan pada naskah akademik yang memadai.
Kepentingan politik praktisnya adalah agar Pemilu legislatif tidak menentukan Pilpres. Partai kecil bisa mengajukan calon tanpa syarat ambang batas kursi di parlemen.
"Kepentingan politik praktisnya adalah agar hasil pemilu legislatif tidak menentukan pilpres. Partai kecil bisa mengajukan calon tanpa syarat perolehan suara partai karena kedua pemilunya dilakukan serempak," terangnya.
Namun tujuan tersebut tidak tercapai lantaran DPR tetap membuat UU Pemilu dengan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil Pemilu sebelumnya.
"Tujuan ini tak tercapai. DPR tetap membuat UU agar capres didasarkan pada perolehan suara partai dari pemilu sebelumnya. Tresholdnya juga tetap tinggi sehingga hanya koalisi partai yang secara umum bisa mencalonkan," ungkapnya.
"Argumen bahwa presidensialisme tak bergantung terhadap partai dan DPR tak sepenuhnya benar. Terbukti omong kosong," tutup Saiful.
Baca juga:
Membedah Taktik Jokowi Isyaratkan Tolak Pilkada 2022 dan 2023
Isyarat Jokowi Tolak RUU Pemilu Demi Jegal Anies?
NasDem: Terlalu Besar Risiko Pemilu Serentak 2024 Jika Penyelenggara Tak Siap
Jokowi Ingin Pilkada 2024, PKS Ingatkan Insiden KPPS Hingga Pemda Dipimpin Plt
Di Depan Parpol Koalisi, Jokowi Isyaratkan Menolak RUU Pemilu
Gerindra Usul UU Pemilu Tidak Diubah