Sekum Muhammadiyah: Pilpres Satu Putaran, Memangnya Judi Rolet?
Mu’ti meminta jangan ada pemaksaan kehendak atau manuver untuk menjadikan pilpres hanya satu putaran
Mu’ti meminta jangan ada pemaksaan kehendak atau manuver untuk menjadikan pilpres hanya satu putaran
Sekum Muhammadiyah: Pilpres Satu Putaran, Memangnya Judi Rolet?
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti mengibaratkan keinginan sekelompok pihak untuk menjadikan Pilpres 2024 satu putaran seperti judi rolet.
Mu’ti meminta jangan ada pemaksaan kehendak atau manuver untuk menjadikan pilpres hanya satu putaran.
“Memangnya (judi) rolet, mutarnya sekali saja. Pilpres ini bukan seperti memutar rolet. Jangan ada pihak yang memaksakan, apalagi menggunakan cara-cara yang tidak sesuai konstitusi dan perundang-undangan untuk capai tujuan,” ujar Mu’ti dalam webinar nasional yang digelar Moya Institute bertajuk Demokrasi Indonesia Terancam?, Kamis (18/1).
Mu’ti juga menegaskan, semua pihak harus menghormati aturan main. Terutama dalam hal netralitas aparatur negara.
Secara khusus, Mu’ti meminta Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan untuk bersikap netral. Di tengah keraguan publik karena putranya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Mu’ti meminta masyarakat sipil (civil society) untuk tidak diam menyuarakan agar praktik demokrasi diselenggarakan secara bermartabat, terutama untuk mewujudkan pilpres yang bersih dari kecurangan.
Terlebih Mu’ti melihat kondisi bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Sehingga harus ada upaya yang dilakukan agar kualitas demokrasi bisa pulih kembali.
Mu’ti menyebut, tiga ukuran sebagai indikator pemilu berkualitas.
Pertama, proses penyelenggaraan yang berkualitas diukur dari pendataan; pelaksanaan pemungutan suara; dan penghitungan hasil pemungutan suara.
“Tiga proses ini sangat menentukan kualitas demokrasi. Harus diupayakan oleh KPU agar tidak ada warga yang punya hak politik kehilangan haknya,” imbau Mu’ti.
Pendiri Setara Institute Hendardi menilai, di akhir masa jabatan, Presiden Jokowi justru tampak kendor dalam komitmennya terhadap demokrasi,
Sebab, Hendardi melihat, penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintahan Jokowi bekerja melalui kanal-kanal dan instrumen demokrasi.
“Situasi ini yang sangat dikhawatirkan,” imbuh Hendardi.
Hendardi melihat komitmen demokrasi mulai luntur saat ini.
Bukan hanya pada sisi agenda politik dan tata kelola, tetapi juga terjadi pengabaian nilai dan etika demokrasi.
“Juga indikasi penyikapan yang represif pada aspirasi kebebasan sipil,” tambah Hendardi.
Sementara itu, Pemerhati isu-isu strategis dan global, Prof Dubes Imron Cotan menambahkan, pelaksanaan pilpres dan pileg harus dikawal oleh masyarakat sipil.
Agar tuduhan dukungan Presiden Jokowi kepada capres tertentu serta narasi penggunaan infrastruktur kekuasaan untuk kepentingan politik pemenangan kontestasi politik 2024, dapat terbantahkan.
Hal ini agar pemilihan presiden berlangsung secara jujur, adil, bebas dari intimidasi, dan transparan, di bawah pengawasan Bawaslu dan lembaga terkait.
Termasuk organisasi masyarakat sipil, yang prihatin atas dugaan pelanggaran dalam proses kontestasi politik tersebut.
“Jangan lupa, demokrasi Indonesia kini disoroti oleh dunia dan oleh negara-negara sahabat, khawatir terjadinya regresi demokrasi. Jangan sampai tujuan Indonesia emas berubah menjadi cemas,” ujar Imron.