Netralitas Jokowi di Pemilu Dipertanyakan dalam Sidang PBB, Airlangga: Hampir Semua Presiden Punya Partai
Ndiaye memulai pertanyaan dengan menyinggung putusan MK RI tentang perubahan syarat usia capres dan cawapres.
Ndiaye memulai pertanyaan dengan menyinggung putusan MK RI tentang perubahan syarat usia capres dan cawapres.
Netralitas Jokowi di Pemilu Dipertanyakan dalam Sidang PBB, Airlangga: Hampir Semua Presiden Punya Partai
Netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pemilu 2024 dipertanyakan dalam sidang PBB.
Sidang Komite HAM PBB mengenai Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) berlangsung di Jenewa, Swiss, 12 Maret lalu.
Merespons itu, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyebut, hampir semua presiden tergabung dalam partai politik. Dia mencontohkan Mantan perdana menteri Singapura Lee Kuan Yew yang membentuk Partai Aksi Rakyat (PAP).
Kemudian, Presiden Amerika Serikat ke-46 Joe Biden juga tergabung di Partai Demokrat. Sehingga, jika seorang presiden terlibat dalam politik adalah hal yang biasa.
"Enggak ada tanggapan. Semua hampir semua presiden punya partai, Lee Kwan Yeuw punya partai PAP, Joe Biden dari Demokrat. Jadi Itu biasa," kata Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (19/3).
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan delegasi Indonesia tidak sempat menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Anggota Komite HAM PBB (CCPR) berasal dari Senegal, Bacre Waly Ndiaye, soal netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilu 2024.
"Memang tidak sempat ditanggapi karena pertanyaan cukup banyak dan waktu tidak memungkinkan," kata Iqbal melalui pesan singkat, Senin, (18/3) dilihat di Antara ketika dimintai tanggapan Indonesia terkait kritik internasional tersebut.
Menurut dia, situasi demikian sering terjadi dalam dialog interaktif seperti Sidang Komite HAM PBB mengenai Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang berlangsung di Jenewa, Swiss, 12 Maret lalu.
"ICCPR adalah pertemuan rutin yang sifatnya dialog interaktif antara Komite HAM dengan negara pihak, antara lain guna mengidentifikasi kebutuhan peningkatan kapasitas, bukan untuk mengadili pelaksanaan HAM di antara negara-negara pihak," tutur Iqbal.
Dia pun menegaskan bahwa Komite HAM itu, yang beranggotakan 18 ahli independen yang dipilih melalui pemungutan suara di PBB, tidak mewakili pemerintah maupun badan PBB tertentu.
"Kehadiran negara pihak dalam pertemuan tersebut bersifat sukarela. Kehadiran Indonesia merupakan bentuk komitmen pelaksanaan Kovenan Hak Sipil dan Politik," katanya.
"Secara umum, presentasi dan kehadiran Indonesia sangat diapresiasi oleh Komite HAM PBB," ujar Iqbal, menambahkan.
Dalam pertemuan tersebut, Ndiaye mengajukan pertanyaan soal jaminan hak politik bagi warga negara Indonesia dalam Pemilu 2024, dalam kaitannya dengan netralitas Presiden Jokowi dan pencalonan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai salah satu calon wakil presiden.
Ndiaye memulai pertanyaan dengan menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi RI tentang perubahan syarat usia capres dan cawapres.
"Kampanye digelar setelah putusan di saat-saat terakhir yang mengubah syarat pencalonan, memungkinkan anak presiden untuk ikut dalam pencalonan," kata dia dalam sidang yang ditayangkan di situs UN Web TV.
Ia kemudian mempertanyakan apa langkah-langkah yang diterapkan di Indonesia guna memastikan para pejabat negara, termasuk presiden, tidak bisa memberi pengaruh berlebihan terhadap pelaksanaan pemilu.
Ndiaye pun bertanya apakah pemerintah Indonesia sudah menyelidiki dugaan-dugaan intervensi pemilu tersebut.
Delegasi Indonesia yang dipimpin Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemlu Tri Tharyat tidak menjawab pertanyaan Ndiaye, tetapi justru menjawab pertanyaan-pertanyaan lainnya.