Seri Revolusi Mental (1): Revolusi mental ala media sosial
Banyak contoh kasus yang berawal di sosial media dan berakhir di bui.
Berkata apapun di media sosial saat ini begitu mudah dan begitu bebas. Begitu bebas sampai kita lupa tata krama. Iya, bersosial media juga ada kulo nuwon-nya. Banyak contoh kasus yang berawal di sosial media dan berakhir di bui. Masih ingat peristiwa pemilik akun twitter @benhan, Benny Handoko yang divonis bersalah atas kasus pencemaran nama baik mantan politisi PKS Misbakhun? Atau kasus Putra Presiden yang terlambat datang ke acara lari? Ah terlalu banyak bila disebutkan satu per satu.
Kita memang negara demokrasi, yang sering diartikan kebebasan berekspresi mutlak. Berekspresi dalam bentuk yang termudah dan tercepat, dengan mengangkat smartphone, membuka Twitter atau Facebook, hanya dengan syarat memiliki langganan data, kita sepertinya bebas berucap apapun yang kita mau di media sosial. Benar itu? Apapun?
Perlu diketahui batas dasarnya, dasar hukumnya. Twitter dan Facebook punya aturan main resmi dalam terms & condition-nya pun tertera. Beberapa batasan seperti tidak offensif,terutama dalam hal yang berkaitan dengan SARA, sampai pencemaran nama baik.
Tapi, ah, siapa yang membaca terms & conditions?
Bukan hanya media sosial, kita tengok dengan apa kabar kecepatan internet di Indonesia sekarang. Indonesia adalah negara dengan kecepatan internet terlambat se-Asia Tenggara, dekat dengan Malaysia dan Filipina. Berada di peringkat ke 86 di seluruh dunia (sumber: Akamai 2013). Tapi, ada yang berpikir "Buat apa internet cepat?", pikir orang yang sama, internet cepat hanya akan digunakan mengakses YouTube, porno, judi dan menngunduh film/musik untuk dijadikan bisnis. Melupakan bahwa fakta bisnis e-commerce, dan bentuk banyak bisnis lainnya juga berbasis internet. Seperti halnya macet, internet lambat juga menghambat produktifitas.
Tapi, ah, berapa banyak sih yang berbisnis online?
Sadar atau tidak, mau tidak mau, inilah yang harus diubah. Mental seperti ini yang harus diubah. Kita harus Revolusi, Revolusi Mental. Harus.
Media Sosial harus dibuat ada aturan mainnya, ada etikanya. Hal seperti pencemaran nama baik, apalagi yang berbau SARA harus dijaga. Selayaknya di kehidupannya nyata, toh kita tidak mau di cela agama, suku atau warna kulit kita, bukan?.
Hal-hal seperti tidak melakukan screen capture terhadap sebuah pembicaraan pribadi seperti dalam aplikasi mengobrol, chat client, dan menyebarnya ke khalayak umum. Selayaknya di kehidupan nyata, toh kita tidak mau pembicaraan kita direkam lalu dibocorkan ke pihak ketiga, bukan?
Membaca terms & condition. Contoh, dalam mendaftarkan sebuah email ke dalam sebuah website, bila kita tidak membaca syarat dan ketentuan, tentu kita tidak mau alamat email kita digunakan untuk menerima spam, bukan?
Mental seperti mengunduh film, lagu atau bentuk karya seni lainnya, lalu diperbanyak dan diperdagangkan lagi tanpa seijin artisnya itu sangat diharamkan hukumnya. Selain ini merugikan artis atau pembuatnya, hal seperti ini juga membuat mereka semakin enggan berkarya dan,.. ya, memperlambat internet. Kita tidak mau itu, bukan?
Padahal, banyak yang bisa dikaryakan dan dimaksimalkan dengan internet yang cepat. Mimpi memiliki Silicon Valley, sebuah daerah yang dikhususkan untuk pertumbuhan digital suatu negara, di Indonesia, mungkin bisa jadi kenyataan. Bisnis digital akan tumbuh dengan lebih cepat. Sudah saatnya kita memiliki Mark Zuckerberg asal Indonesia, atau mungkin meneruskan karya Steve Jobs?
Kita mulai dengan kita sebagai pengguna untuk melakukan Revolusi Mental di abad cyber dari sekarang. Biarkan pemerintah yang baru melakukan tugasnya yang kita harap berawal dari menaruh orang yang kompeten di bidangnya, menteri yang kompeten di setiap kementeriannya. Kita dan pemerintah sama-sama turun tangan. Mari. (Ario Pratomo, Twitter @sheggario, tech-blogger, relawan Generasi Optimis)