Setnov sahkan UU, koalisi pemerintah dinilai hilang sensitifitas
RUU Pemilu telah disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR, tadi malam. Ketua DPR Setya Novanto mengesahkan dengan mengetuk palu, tanda RUU Pemilu resmi menjadi UU.
RUU Pemilu telah disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR, tadi malam. Ketua DPR Setya Novanto mengesahkan dengan mengetuk palu, tanda RUU Pemilu resmi menjadi UU.
Hal itu menuai polemik. Sebab, Setya Novanto saat ini berstatus sebagai tersangka korupsi e-KTP. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, di jajaran pimpinan DPR hanya Setnov lah yang memiliki sikap politik sama dengan pemerintah dan parpol koalisi pendukung.
Hal itu menjadi dilematis. Sebab, pemerintah dan parpol koalisi pendukung harus segera memastikan RUU Pemilu disetujui. "Dan di posisi itu hanya Setnov semata yang bisa mendukung niat koalisi pendukung pemerintah demi memuluskan RUU yang pro sikap mereka," katanya kepada merdeka.com, Jumat (21/7).
Namun, kata dia, sangat disayangkan, Setnov yang menjadi andalan pemerintah dan partai koalisi berstatus sebagai tersangka korupsi e-KTP.
"Saya melihat koalisi pendukung pemerintah, demi kepentingan kelompoknya, menjadi kehilangan sensitifitas pada korupsi. Demi kepentingan, mereka tidak peduli dengan integritas orang," katanya.
"Saya jadi paham dengan kebutuhan pragmatis kepentingan itu ketika pasca penetapan Setnov, semua pendukung pemerintah bahkan presiden sendiri kompak bersikap normatif. Slogan praduga tak bersalah jadi andalan. Dan memang mereka diuntungkan secara politis oleh keberadaan Setnov, sehingga tak menjadi penting bagi pendukung pemerintah untuk mengkritisi Novanto yang adalah tersangka itu," sambungnya.
Dia mengatakan faktor kepentingan membuat etika hanya dekorasi untuk para politisi. Asal menguntungkan secara politis, kata dia, para politisi tak merasa terganggu dengan status terdakwa yang ada pada Setnov.
"Secara formal yuridis memang tak jadi soal keberadaan Novanto sebagai pimpinan sidang semalam. Akan tetapi secara etis, legitimasi keputusan DPR memang pantas dipertanyakan," katanya.