Sisi Negatif Pemilu Serentak Menurut LSI Denny JA
Dalam pandangan Denny, penggabungan waktu pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (Pileg) lebih banyak menghasilkan keburukan
Pendiri Lembaga Survei Indonesia (LSI), Denny JA menyoroti beberapa hal negatif seputar penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2019 pada Rabu (17/4).
Dalam pandangan Denny, penggabungan waktu pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (Pileg) lebih banyak menghasilkan keburukan, karena porsi perhatian masyarakat lebih banyak terfokus pada pilpres.
-
Mengapa Pemilu 2019 di sebut Pemilu Serentak? Pemilu Serentak Pertama di Indonesia Dengan adanya pemilu serentak, diharapkan agar proses pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif.
-
Kapan Pemilu 2019 diadakan? Pemilu terakhir yang diselenggarakan di Indonesia adalah pemilu 2019. Pemilu 2019 adalah pemilu serentak yang dilakukan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota, dan DPD.
-
Kapan pemilu 2019 dilaksanakan? Pemilu 2019 merupakan pemilihan umum di Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019.
-
Apa yang diraih Partai Gerindra di Pemilu 2019? Pada Pemilu 2019, perolehan suara Partai Gerindra kembali naik, walau tidak signifikan. Partai Gerindra meraih 12,57 persen suara dengan jumlah pemilih 17.594.839 dan berhasil meraih 78 kursi DPR RI.
-
Apa saja yang dipilih dalam Pemilu 2019? Pada tanggal 17 April 2019, Indonesia menyelenggarakan Pemilu Serentak yang merupakan pemilihan presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD secara bersamaan.
-
Partai apa yang menang di Pemilu 2019? Partai Pemenang Pemilu 2019 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan persentase suara sebesar 19.33% atau 27,05 juta suara dan berhasil memperoleh 128 kursi parpol.
"Pileg menjadi anak tiri. Sekitar 70 persen diskusi di masyarakat adalah seputar pilpres, pileg hanya 30 persen," kata Denny di Graha Dua Rajawali, Jakarta, Kamis (18/4).
Menurut Denny, digabungnya pilpres dan pileg juga membuka kultur pengkhianatan partai politik. Hal itu disebabkan pada sejumlah daerah tertentu, amat mungkin para calon legislatif memberikan dukungan kepada salah satu kontestan pilpres meski hal itu tidak sejalan dengan kebijakan partai.
Poin selanjutnya yang menjadi catatan Denny adalah pileg tidak berlangsung seimbang. Para caleg yang berasal dari partai yang memiliki capres/cawapres relatif dapat lebih mudah meraih dukungan masyarakat dibanding caleg yang tidak memiliki capres/cawapres sendiri.
Poin terakhir adalah nama caleg semakin tenggelam. Caleg semakin sulit mempromosikan diri dan kapabilitasnya karena perhatian publik sudah tersedot oleh pilpres.
"Mudah-mudahan bisa kita dorong agar hal ini digugat ke MK (Mahkamah Konstitusi), atau kita berikan dukungan kepada legislatif agar kedua hal ini tidak dicampur lagi," ujar Denny.
Baca juga:
Kalah di Tahun 2019, PSI Bisa Jadi Kejutan di 2024
Pantauan Kader di Daerah, Sekjen Sebut PAN Memperoleh 6,5 Persen Suara
Pilpres 2019 di Luar Negeri, Jokowi Tumbangkan Prabowo di Belgia
Jokowi Kalahkan Prabowo di TPS 01 Warga Adat Badui
SBY Instruksikan Pengurus Demokrat Tak Ikut Kegiatan Inkonstitusional
Cerita Kapolres Bone Bolango Terjang Sungai dan Bukit Pantau Pemilu di Desa Pelosok
Benarkah Penghitungan Suara KPU Bisa di-Hack? Ini Kata Ahli