Survei Terbaru LSI Denny JA: Elektabilitas Dedi-Erwan Jauh Tinggalkan 3 Paslon Lainnya
Sektabilitas Dedi-Erwan berada di angka 74.6 persen, Syaikhu-Ilham 12,0 persen, Acep-Gita KDI 6,5 persen dan Jeje-Ronal 5,3 persen.
Dedi Mulyadi masih berada di atas angin ditinjau dari sisi elektabilitas dan popularitas sebagai calon gubernur dalam kontestasi Pilkada Jabar.
Sementara pasangan lain masih bisa mengejar hingga masa pencoblosan meski peluangnya sangat kecil.
Hal ini tergambar dalam hasil survey yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network Denny JA di Hotel Preanger, Kota Bandung, Jumat (8/11). Penelitian berlangsung dari 31 Oktober hingga 4 November 2024 menggunakan metode Multistage Random Sampling melalui wawancara tatap muka kepada 800 responden dengan margin of error plus minus 3,5 persen.
Hasilnya, elektabilitas paslon Dedi-Erwan berada di angka 74.6 persen. Sementara itu, paslon lain, seperti Ahmad Syaikhu-Ilham Akbar Habibie berada di angka 12,0 persen, Acep Adang Ruhiyat – Gitalis Dwi Natarina 6,5 persen, Jeje Wiradinata – Ronal Surapraja 5,3 persen. Swing voters berada di angka 1,6 persen.
Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA, Toto Izul Fatah mengatakan, salah satu faktor keunggulan Dedi Mulyadi adalah tingkat pengenalan yang sangat tinggi. Mantan Bupati Purwakarta itu memiliki poin 92,1 persen, ditambah tingkat kesukaan 88,6 persen.
Temuan lainnya, Dedi Mulyadi menjadi pilihan bagi pemilih partai yang calon gubernurnya berbeda, yaitu PKS, PDIP dan PKB justru mayoritas memilih Dedi- Erwan. Pemilih PKS sebesar 47,9 persen, pemilih PDIP 71,8 persen dan pemilih PKB 62,1 persen.
Menurut dia, masih ada sisa waktu kurang lebih 20 hari untuk seluruh kandidat meningkatkan elektabilitasnya. Namun, hal itu tidak akan mudah karena memerlukan faktor lain.
“Biasanya, hanya tsunami politik dan money politic yang bisa mengubah peta elektabilitas dalam waktu yang singkat itu. Masalahnya, sejauh ini belum terlihat akan adanya tsunami politik tersebut. Termasuk, money politic,” kata dia.
Jika ada kandidat yang mencoba melakukan praktik money politic, tentu anggarannya tidak bisa sedikit. Belum lagi ada potensi didiiskualifikasi KPU karena masuk dalam kategori pelanggaran TSM (Terstruktur, Sistematis dan Massif).
“Mungkin, jika ada kandidat yang mau melakukan money politic, harusnya punya elektabilitas yang tidak terlalu jauh, misalnya selisih 5-7 persen. Tapi kalau sudah lebih dari 20 persen apalagi diatas 30 persen, biasanya akan berpikir ulang. Selain butuh uang berkarung-karung, juga belum tentu efektif,” tegasnya.
Hanya saja, ada cara lain yang bisa dimanfaatkan paslon untuk mengejar ketertinggalan elektabilitas maupun popularitas. Berdasarkan penelitannya, ada sekitar 31,2 persn pemilih yang berkategori soft supporter.
Yaitu gabungan antara yang sudah memilih tapi bisa berubah dengan yang belum punya pilihan sama sekali.
“Pemilih yang berkategori seperti ini biasanya menjadi lahan tak bertuan yang masih bisa diperebutkan siapa saja,” pungkasnya.