Vonis Pidana Pemilu Ringan, Sulit Beri Efek Jera bagi Pelanggar
Indonesian Legal Roundtable (ILR) menyoroti penegakan hukum pidana Pemilu 2019. Direktur ILR, Firmansyah Arifin menyebut sebagian besar kasus pidana Pemilu 2019 mendapat vonis ringan.
Indonesian Legal Roundtable (ILR) menyoroti penegakan hukum pidana Pemilu 2019. Direktur ILR, Firmansyah Arifin menyebut sebagian besar kasus pidana Pemilu 2019 mendapat vonis ringan.
Tercatat ada 348 kasus pidana Pemilu 2019 yang divonis di 160 pengadilan negeri dan 28 pengadilan tinggi. Namun terdapat 190 kasus pidana divonis ringan serta 170 kasus divonis dengan pidana bersyarat atau percobaan.
-
Kapan Pemilu 2019 diadakan? Pemilu terakhir yang diselenggarakan di Indonesia adalah pemilu 2019. Pemilu 2019 adalah pemilu serentak yang dilakukan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota, dan DPD.
-
Kapan pemilu 2019 dilaksanakan? Pemilu 2019 merupakan pemilihan umum di Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019.
-
Apa saja yang dipilih dalam Pemilu 2019? Pada tanggal 17 April 2019, Indonesia menyelenggarakan Pemilu Serentak yang merupakan pemilihan presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD secara bersamaan.
-
Bagaimana pelaksanaan Pemilu 2024 di Jakarta Timur dibandingkan dengan Pemilu 2019? Tedi mengatakan penghitungan di tempat pemungutan suara (TPS), rekapitulasi Tingkat kecamatan, kota, dan provinsi berjalan lancar. Tedi mengungkap pada Pemilu 2019, KPU Kota Administrasi Jakarta Timur, dua kali mendapatkan teguran dari KPU RI. Namun, hal itu berbeda dengan pelaksanaan pada Pemilu 2024.
-
Apa yang menjadi fokus utama Pemilu 2019? Pemilu 2019 ini menjadi salah satu pemilu tersukses dalam sejarah Indonesia.Pemilu ini memiliki tingkat partisipasi pemilih yang sangat tinggi. Joko Widodo dan Ma'ruf Amin berhasil memenangkan pemilu.
-
Apa yang diraih Partai Gerindra di Pemilu 2019? Pada Pemilu 2019, perolehan suara Partai Gerindra kembali naik, walau tidak signifikan. Partai Gerindra meraih 12,57 persen suara dengan jumlah pemilih 17.594.839 dan berhasil meraih 78 kursi DPR RI.
"Trend vonis seperti itu, tentu sulit memberikan efek jera bagi para pelaku," kata Firmansyah di Kantor ILR di Jl Perdatam VI No 5-6 Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (7/10).
Adapun jenis pelanggaran pidana Pemilu 2019 di antaranya politik uang, manipulasi suara, mencoblos lebih dari satu surat suara, kepala desa tidak netral, kampanye di tempat ibadah, kampanye menggunakan fasilitas negara atau pendidikan dan ASN tidak netral. Pelanggaran yang paling banyak terjadi di sejumlah daerah adalah politik uang.
"Aktor politik uang kebanyakan calon legislatif," ucapnya.
Daerah terbanyak terjadi kasus tindak pidana pemilu adalah Sulawesi Selatan. Kemudian disusul Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara dan Gorontalo. Daerah paling sedikit terjadi kasus pidana pemilu adalah Kalimantan Tengah.
Firmansyah melanjutkan, dalam vonis kasus-kasus tindak pidana Pemilu 2019 terdapat disparitas atau perbedaan putusan dalam kasus yang sama. Misalnya kasus politik uang. Aktor politik uang ada yang divonis penjara 1 tahun 6 bulan dengan denda 6 juta, ada pula yang divonis penjara 1 bulan dengan denda 1 juta.
"Putusan memang menjadi diskresi dari hakim, namun jika terjadi perbedaan dalam putusan akan menjadi problematika tersendiri dalam proses penegakan hukum pidana," pungkasnya.
Bawaslu Akui Banyak Kendala di Gakkumdu
Menanggapi hal tersebut, Komisioner Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan pihaknya telah menerima 2.724 laporan dugaan pidana Pemilu 2019. 582 Kasus lanjut ke penyidikan, 132 berhenti di tahap penyidikan. Sementara ada 41 kasus berhenti di penuntutan dan 319 kasus sampai di putusan pengadilan negeri.
Daerah terbanyak terjadi kasus tindak pidana pemilu adalah Sulawesi Selatan. Kemudian disusul Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Maluku, Gorontalo dan Sumatera Barat. Daerah paling sedikit terjadi kasus pidana pemilu adalah Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi.
Menurut Rahmat, ada sejumlah regulasi yang menjadi problematika penegakkan hukum pidana Pemilu dalam gakkumdu. Pertama pelaporan ke Bawaslu menggunakan hari kerja dan jam kerja. Akibatnya pelaporan yang disampaikan tengah malam atau dini hari tidak dapat diterima.
Selain itu, tidak adanya pengaturan ancaman pidana bagi seseorang yang menyuruh melakukan, misalnya mengisi formulir C6. Tidak ada juga upaya paksa dalam menghadirkan saksi.
"Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang Surat Pemberitahuan Hasil Penanganan Laporan," sambung dia.
Tak hanya regulasi, SDM dan akses menjadi kendala penegakkan hukum pidana Pemilu di gakkumdu. Rahmat menyebut masih terdapat perbedaan persepsi dalam penafsiran unsur pidana Pemilu di lingkungan sentra gakkumdu.
Di sisi lain, rendahnya jumlah personel gakkumdu dari unsur kepolisian dan kejaksaan di daerah pemekaran yang belum terdapat Polres atau Kejaksaan Negeri di wilayah setempat.
"Jumlah personel gakkumdu juga tidak sesuai dengan Perbawaslu nomor 31 tahun 2018," jelasnya.
(mdk/bal)